Jumat, 13 Juli 2018

Teman Dari Langit





Jantungku berdebar tidak karuan. Pikirku melayang entah kemana. Begitu banyak hal berkecamuk di pikiranku. Ketakutan, kekhawatiran menggerogoti tubuhku seakan aku tak mampu lagi menopang berat tubuhku dan ingin jatuh pingsan. Pengumuman itu serasa mencekik leherku. Kebahagian dan canda tawa serta kegembiraan yang aku impikan bersama kawan-kawanku kini sirnalah sudah. Aku harus terima semuanya, aku tak bisa merubah keputusan-Nya bahkan hingga aku bisa menghentikan waktupun tetap saja aku tak pernah bisa mengubah takdirnya. Mau tak mau aku harus terima.
*******
            Kumasuki ruang kelas yang tepat berada di deretan paling pojok. Terasa aneh ketika kudapati wajah-wajah orang yang tampak asing didalamnya. Tak ku lihat lagi canda Rahma, Via, Santi, Siska dan teman-temanku di kelas sebelumnya. Bahkan tak kudapati pula dia di kelas itu. Hanya ada tatapan sepasang mata dingin yang membuyarkan lamunku.
”Hei...kita satu kelas yach,,,”
”Emmm....Iya,” sahutku dengan nada tidak bersemangat.
*******
Dialah orang pertama yang menyapaku dikelas asing itu. Aku memang baru-baru ini agak sering bertemu dengannya atau bisa dibilang aku mungkin sudah mengenalnya meskipun tidak begitu akrab, karena aku takut padanya. Temanku pernah berkata tentang bagaimana sifat anak itu padaku, bahkan orang yang diam-diam aku suka pun berkata hal yang sama tentang anak itu padaku, itulah yang membuatku begitu takut dan enggan untuk berada dalam kelas yang sama dengannya. Apalagi akhir-akhir ini aku dan Via harus sesering mungkin bertemu anak itu karena kita ditempatkan dalam suatu tanggung jawab yang sama. Via masih mending hanya beberapa kali saja bertemu dengannya, sedang aku setiap hari, bahkan setiap detik waktuku di sekolah harus melihat orang yang sangat aku benci itu.
*******
Pernah suatu ketika anak itu bertanya padaku, perihal kenapa aku sangat tidak suka masuk di kelas itu, dan dia berfikir itu karena dirinya. Akupun hanya menyahutnya dengan senyum kecut yang tersungging dari pipi lesungku. Setiap hari aku selalu bertemu dengannya, dan setiap kali pula dia selalu singgah sebentar di bangku tempat dudukku untuk sekedar menyapa. Akupun setiap hari pula harus menghadapi rasa takutku yang kian berkecamuk, serta sandiwara tersenyum saat mendengar sapanya padaku tak pernah luput tersungging dari bibirku.
Hingga karena semua itu, aku mulai bisa mengurangi phobiaku padanya. Dan sikap ramahnya padaku membuat semua perkataan temanku tentangnya itu teracuhkan, bahkan perkataan orang yang diam-diam aku sukai pun aku acuhkan begitu saja. Aku berfikir bahwa dia berbeda dari apa yang mereka katakan. Dan aku berfikir bahwa dia adalah teman yang Tuhan kirimkan padaku, untuk menemaniku dalam kesepianku karena terpisah dari kawan-kawanku. Hal yang sama pula terjadi padanya, dia juga telah dipisahkan dari kawan-kawannya hingga dia terlihat begitu kesepian dan mencari hal apa saja yang bisa menghibur dirinya sendiri untuk menghilangkan rasa sepinya.
Berjalan tidak begitu lama kamipun mulai sedikit akrab. Dia selalu bertanya padaku tentang pelajaran apa saja yang dia tidak bisa. Dan itupun mulai melatih kesabaranku untuk mengajarinya dan bahkan mengajari semua teman-temanku yang ingin bertanya tentang pelajaran yang tidak mereka mengerti.
*******
Pada suatu ketika ku dapati bahwa anggapanku salah dan pula kudapati bahwa perspektifku tentangnya salah besar. Aku menyesal tlah mengacuhkan nasehat teman-temanku. Aku bahkan lebih menyesal karena tlah mengacuhkan perkataan orang yang diam-diam kusukai. Aku menyesal dengan semua yang terjadi......
Kian hari, aku semakin sadar bahwa kedekatannya padaku adalah karena sesuatu hal. Keramahannya padaku hanya karena satu hal, ”ingin menghancurkannku” itulah pikiran dalam benakku. Dia selalu mendapat nilai baik dan sanjungan dari guru untuk semua mata pelajaran, bahkan melebihi aku yang telah mengajarinya. Jika aku bertanya tentang materi pelajaran yang benar-benar belum aku kuasai dia tak pernah mau mengajariku bahkan kalaupun mau pasti aku harus menunggunya berjam-jam untuk bisa mendapatkan jawaban darinya. Itulah pembuka awal dari kesedihanku bermula.
*******
Aku menangis semalaman penuh dibuatnya, memikirkan prestasi belajarku di sekolah yang mulai tergeser olehnya. Dan dia pun jarang lagi menyapa atau bertanya padaku di sekolah ketika aku melarangnya. Aku beri secarik kertas yang bertuliskan ”jangan pernah bertanya lagi padaku”. Aku tak pernah berbuat senekat itu, dan bahkan aku tak pernah membenci orang sampai segitunya. Tapi melihat sikapnya padaku yang membeda-bedakan antara aku dengan teman-temanku yang lainnya membuatku muak dan rasanya ingin muntah setiap kali melihat wajahnya. Tak berjalan begitu lama dia pun kembali bersikap ramah lagi padaku, tapi itu tak akan pernah bisa membuatku masuk ke lubang buaya yang sama, aku acuhkan dia dan bahkan aku tak menyahut sapanya.
*******
”Ada apa sih Tania, kok wajah kamu cemberut gitu akhir-akhir ini,” tanya Rahma padaku.
” Huuuuhhh......aku sebel banget ma anak itu,”
”Sebel ma sapa?” tanya Via.
” Yaa....sama anak itu,,,,”sahutku
”Itu sapa ?”
”Yaaa....siapa lagi lok bukan ama si Reza, aduh Tuhan dosa apa yang aku perbuat hingga aku bisa satu kelas ma anak super menyebalkan itu,”
” Ehhhh....nggak boleh lok terlalu benci ma seseorang,” ucap Santi.
”Iya, ntar bisa-bisa kamu jadi suka lho ma dia,” tambah Siska.
” Aduh jangan sampai deh. Aduh Tuhan mudah-mudahan itu jangan sampai terjadi,”
” Emang kenapa sih, Tan?” bukankah anak itu baik ma kamu,” tanya Rahma
” Iya, pada awalnya aja baik, tapi akhir-akhirnya ketahuan juga busuknya, duh...aku jadi sebel nih. Udah kita ganti topik aja jangan ngomongin dia lagi.
*******
            Keasyikanku ngobrol dengan sahabat-sahabatku saat jam istirahat menjadi buyar ketika bel tanda masuk berbunyi. Aku harus kembali kekelasku dan menghadapi semua masalahku dengannya. Aku tahu sebuah masalah tak harus dihindari tapi harus dihadapi dengan berani dan percaya diri. Anak itu kembali menyapaku dengan cara yang sama pula, aku mengacuhkannya. Bahkan dia bertanya padaku sebenarnya apa salahnya padaku, kenapa aku jadi bersikap dingin padanya. Aku pun hanya diam, dan membiarkan dia berlalu begitu saja. Teman sebangkuku memberi nasehat padaku, bahwa aku tak boleh mengacuhkan dia seperti itu, bahkan meski aku sangat-sangat membencinya. Tapi,,, aku malah berkata balik kepadanya.
”Tak, perlu kau nasehati aku. Bukankah sampai sekarang ini kau sedang ada masalah juga dengan sahabatmu dan bahkan persahabatan kalian sampai rusak. Jadi....tak perlu menasehatiku,” tegasku.
*******
            Jam pelajaran berakhir dan anak itupun langsung melesat keluar kelas. Takku perhatikan betapa cepat langkah kakinya, yang ku tahu dia hanya melesat secepat kilat hingga tak kudapati batang hidungnya lagi. Aku menunggu sahabat-sahabatku yang masih belum pulang di kelas sebelah. Seperti biasa aku kembali bercerita tentang sebegitu bencinya aku pada anak itu.
*******
Esok menjelang, udara terasa begitu dingin pagi ini. Kuambil switer berwarna ungu muda di almari dan aku pun segera melesat keruang makan untuk sarapan bersama ayah, bunda dan adikku. Usai sarapan seperti biasa angkutan umum didepan yang lewat depan rumahku pun aku hentikan. Ternyata di dalam angkutan umum itu aku bertemu dengan teman SMPku yang juga satu SMA denganku juga. Meski tak begitu kenal akrab tapi aku dan dia bisa cepat nyambung jika ngobrol. Dia bercerita tentang anak yang aku benci itu, pasalnya dia kenal betul anak itu karena pernah satu kelas dengannya. Argumen temanku tentang Reza semakin menguatkan kebencianku padanya.
Disekolah, kelas masih begitu sunyi. Maklumlah aku terlalu pagi berangkat kesekolah. Aku berfikir sikap apa yang harus aku tampakkan padanya hari ini. Jujur hati kecilku begitu sakit mengacuhkannya kemarin. Pasalnya aku tak pernah melakukan itu pada satu orangpun. Baru padanya aku melakukan itu, karena begitu sakitnya hatiku melihat setiap sikapnya itu. Teman sebangkuku pun datang dan membuyarkan lamunku.
*******
” Hei, sedang apa?”
” Emmm....nggak sedang melakukan apapun kok. Oh, ya..by the way akumintama’afya.. samakamukarenaucapanku yang begitukasarpadamu. Akunggakbermaksudbersikapsepertiitu.
            Tak lama kemudiananakitudatangdansepertibiasa pula menyapakudengansenyumnya.Akupunmembalasnyadengansenyuman pula.Hinggamembuattemansebangkukuheran.
“ Hemmm….udah nggak marah lagi ya?”
” Eh, iya, aku nggak bisa jika harus terus-terusan marah padanya. Aku sadar bahwa itu sepenuhnya juga bukan kesalahannya. Yah...mungkin aku yang terlalu sensi padanya. Tapi, jujur rasanya begitu sakit bersikap dingin pada orang lain,” jelasku.
” Wahhh...aku iri deh ma kamu, kamu bisa menahan rasa sakitmu sendiri dan bahkan kau manpu membuang semua ego dan rasa dendammu yang membara padanya,”
” He’em aku juga nggak ngerti dengan diriku sendiri. Dari dulu hingga sekarang tiap kali aku membenci seseorang aku tak pernah bisa mendiamkannya dan bahkan tidak menyapanya lebih dari sehari. Dan itu pun terjadi pula dengan orang yang paling kubenci di dunia ini, aku tak pernah bisa bersikap sedingin itu,”
******
            Sejak saat itu, pertemananku dengannya kembali seperti semula. Aku buang semua rasa egoku dan aku kendalikan rasa kebencian dan dendamku padanya. Hingga ku sadari bahwa dia memang benar-benar begitu baik padaku. Mungkin aku yang terlalu sensitif dan masih dikendalikan oleh rasa phobiaku padanya hingga beranggapan bahwa dia adalah orang yang paling jahat didunia ini yang pernah aku kenal.
            Tapi,,,seiring dengan berjalannya hari, perlahan tapi pasti aku mulai bisa membuka diri padanya. Aku bercerita tentang apa saja dan dia pun bisa menanggapi cerita-ceritaku dengan nasehat dan saran-sarannya yang membangun. Meski nada bicaranya kadang sering menyinggung perasaanku, tapi aku mencoba untuk mengerti dirinya. Mungkin itu sudah menjadi sifatnya, dan sifat seseorang itu tidak bisa dirubah begitu saja.
*******
            Aku pun semakin percaya bahwa dia adalah teman yang Tuhan turunkan dari langit untuk menemaniku menepis rasa sepiku. Dia memang tak sebaik Arif, dan bahkan perkataanya pun tak selembut kata-kata Arif orang yang diam-diam aku kagumi itu. Tapi,,, dia selalu ada disaat aku sedang kesepian. Dia selalu ada di saat aku sedang merasa sedih. Meski dengan lelucon-lelucon yang bagiku tak begitu lucu, dia selalu mencoba menghiburku. Dia mencoba menenangkanku disaat tangisku tak mampu aku tahan. Dia memberi nasehat dan saran-saran yang bisa sangat membantu bagiku. Bahkan dia tak lagi seperti teman yang Tuhan turunkan untukku, tapi,,,dia sudah seperti kakak bagiku.
            Menjelang perpisahan kelulusan, aku semakin yakin dan percaya bahwa dia begitu berarti bagiku. Aku tak tahu bagaimana jadinya aku tanpanya. Aku mungkin hanya akan menjadi anak yang tetap duduk diam di bangkuku tanpa mengenal bahwa begitu banyak keindahan di sekelilingku yang patut ku nikmati. Meski tak genap satu tahun aku mengenalnya, tapi dia tlah memberiku sejuta kebahagiaan. Terimah kasih temanku untuk semua kebaikanmu. Selamanya kau akan jadi teman terbaik yang pernah hadir dalam hidupku.
******
Kita memang baru menyadari bahwa seseorang itu begitu berarti bagi kita, jika kita hendak berpisah dengannya. Dan itupun terjadi padaku. Pikirku melayang, memikirkan akankah kudapati orang sebaik dia dikehidupan mendatang. Akankah ada seseorang yang mau peduli padaku, untuk mengusap tangisku, untuk membantuku berdiri saat aku terjatuh, dan bahkan orang yang selalu berusaha menghadapi sifatku yang begitu pemarah dengan sabarnya. Tuhan....mudah-mudahan suatu saat nanti aku bisa temukan teman yang sebaik dia lagi. Mudah-mudahan kau kirimkan teman dari langit lagi untukku.
Selamat tinggal temanku, teman-teman terbaikku. Terima kasih tlah mau menjadi temanku. Suka dan duka tlah kita lalui bersama sepanjang kita mengenakan seragam abu-abu. Tapi ingatlah, meski kita pada akhirnya harus berpisah,,, percayalah dalam hati bahwa suatu saat nanti kita pasti akan dapat bertemu lagi dan mengulang kembali cerita kita yang sempat tertunda.
******
THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar