Jantungku
berdebar tidak karuan. Pikirku melayang entah kemana. Begitu banyak hal
berkecamuk di pikiranku. Ketakutan, kekhawatiran menggerogoti tubuhku seakan
aku tak mampu lagi menopang berat tubuhku dan ingin jatuh pingsan. Pengumuman
itu serasa mencekik leherku. Kebahagian dan canda tawa serta kegembiraan yang
aku impikan bersama kawan-kawanku kini sirnalah sudah. Aku harus terima
semuanya, aku tak bisa merubah keputusan-Nya bahkan hingga aku bisa
menghentikan waktupun tetap saja aku tak pernah bisa mengubah takdirnya. Mau
tak mau aku harus terima.
*******
Kumasuki
ruang kelas yang tepat berada di deretan paling pojok. Terasa aneh ketika
kudapati wajah-wajah orang yang tampak asing didalamnya. Tak ku lihat lagi
canda Rahma, Via, Santi, Siska dan teman-temanku di kelas sebelumnya. Bahkan
tak kudapati pula dia di kelas itu. Hanya ada tatapan sepasang mata dingin yang
membuyarkan lamunku.
”Hei...kita satu kelas yach,,,”
”Emmm....Iya,” sahutku dengan nada tidak
bersemangat.
*******
Dialah
orang pertama yang menyapaku dikelas asing itu. Aku memang baru-baru ini agak
sering bertemu dengannya atau bisa dibilang aku mungkin sudah mengenalnya
meskipun tidak begitu akrab, karena aku takut padanya. Temanku pernah berkata
tentang bagaimana sifat anak itu padaku, bahkan orang yang diam-diam aku suka
pun berkata hal yang sama tentang anak itu padaku, itulah yang membuatku begitu
takut dan enggan untuk berada dalam kelas yang sama dengannya. Apalagi
akhir-akhir ini aku dan Via harus sesering mungkin bertemu anak itu karena kita
ditempatkan dalam suatu tanggung jawab yang sama. Via masih mending hanya
beberapa kali saja bertemu dengannya, sedang aku setiap hari, bahkan setiap
detik waktuku di sekolah harus melihat orang yang sangat aku benci itu.
*******
Pernah
suatu ketika anak itu bertanya padaku, perihal kenapa aku sangat tidak suka
masuk di kelas itu, dan dia berfikir itu karena dirinya. Akupun hanya
menyahutnya dengan senyum kecut yang tersungging dari pipi lesungku. Setiap
hari aku selalu bertemu dengannya, dan setiap kali pula dia selalu singgah
sebentar di bangku tempat dudukku untuk sekedar menyapa. Akupun setiap hari
pula harus menghadapi rasa takutku yang kian berkecamuk, serta sandiwara
tersenyum saat mendengar sapanya padaku tak pernah luput tersungging dari
bibirku.
Hingga
karena semua itu, aku mulai bisa mengurangi phobiaku padanya. Dan sikap
ramahnya padaku membuat semua perkataan temanku tentangnya itu teracuhkan,
bahkan perkataan orang yang diam-diam aku sukai pun aku acuhkan begitu saja. Aku berfikir bahwa dia berbeda dari apa yang
mereka katakan. Dan aku berfikir bahwa dia adalah teman yang Tuhan kirimkan
padaku, untuk menemaniku dalam kesepianku karena terpisah dari kawan-kawanku.
Hal yang sama pula terjadi padanya, dia juga telah dipisahkan dari kawan-kawannya
hingga dia terlihat begitu kesepian dan mencari hal apa saja yang bisa
menghibur dirinya sendiri untuk menghilangkan rasa sepinya.
Berjalan
tidak begitu lama kamipun mulai sedikit akrab. Dia selalu bertanya padaku
tentang pelajaran apa saja yang dia tidak bisa. Dan itupun mulai melatih
kesabaranku untuk mengajarinya dan bahkan mengajari semua teman-temanku yang
ingin bertanya tentang pelajaran yang tidak mereka mengerti.
*******
Pada
suatu ketika ku dapati bahwa anggapanku salah dan pula kudapati bahwa
perspektifku tentangnya salah besar. Aku menyesal tlah mengacuhkan nasehat teman-temanku. Aku
bahkan lebih menyesal karena tlah mengacuhkan perkataan orang yang diam-diam
kusukai. Aku menyesal dengan semua yang terjadi......
Kian
hari, aku semakin sadar bahwa kedekatannya padaku adalah karena sesuatu hal.
Keramahannya padaku hanya karena satu hal, ”ingin menghancurkannku” itulah
pikiran dalam benakku. Dia selalu mendapat nilai baik dan sanjungan dari guru
untuk semua mata pelajaran, bahkan melebihi aku yang telah mengajarinya. Jika
aku bertanya tentang materi pelajaran yang benar-benar belum aku kuasai dia tak
pernah mau mengajariku bahkan kalaupun mau pasti aku harus menunggunya
berjam-jam untuk bisa mendapatkan jawaban darinya. Itulah pembuka awal dari
kesedihanku bermula.
*******
Aku
menangis semalaman penuh dibuatnya, memikirkan prestasi belajarku di sekolah
yang mulai tergeser olehnya. Dan dia pun jarang lagi menyapa atau bertanya
padaku di sekolah ketika aku melarangnya. Aku beri secarik kertas yang
bertuliskan ”jangan pernah bertanya lagi padaku”. Aku tak pernah berbuat
senekat itu, dan bahkan aku tak pernah membenci orang sampai segitunya. Tapi
melihat sikapnya padaku yang membeda-bedakan antara aku dengan teman-temanku
yang lainnya membuatku muak dan rasanya ingin muntah setiap kali melihat
wajahnya. Tak berjalan begitu lama dia pun kembali bersikap ramah lagi padaku,
tapi itu tak akan pernah bisa membuatku masuk ke lubang buaya yang sama, aku
acuhkan dia dan bahkan aku tak menyahut sapanya.
*******
”Ada apa sih Tania, kok wajah kamu cemberut
gitu akhir-akhir ini,” tanya Rahma padaku.
” Huuuuhhh......aku sebel banget ma anak
itu,”
”Sebel ma sapa?” tanya Via.
” Yaa....sama anak itu,,,,”sahutku
”Itu sapa ?”
”Yaaa....siapa lagi lok bukan ama si Reza,
aduh Tuhan dosa apa yang aku perbuat hingga aku bisa satu kelas ma anak super
menyebalkan itu,”
” Ehhhh....nggak boleh lok terlalu benci ma
seseorang,” ucap Santi.
”Iya, ntar bisa-bisa kamu jadi suka lho ma
dia,” tambah Siska.
” Aduh jangan sampai deh. Aduh Tuhan
mudah-mudahan itu jangan sampai terjadi,”
” Emang kenapa sih, Tan?” bukankah anak itu
baik ma kamu,” tanya Rahma
” Iya, pada awalnya aja baik, tapi
akhir-akhirnya ketahuan juga busuknya, duh...aku jadi sebel nih. Udah kita
ganti topik aja jangan ngomongin dia lagi.
*******
Keasyikanku
ngobrol dengan sahabat-sahabatku saat jam istirahat menjadi buyar ketika bel
tanda masuk berbunyi. Aku harus kembali kekelasku dan menghadapi semua
masalahku dengannya. Aku tahu sebuah masalah tak harus dihindari tapi harus
dihadapi dengan berani dan percaya diri. Anak itu kembali menyapaku dengan cara
yang sama pula, aku mengacuhkannya. Bahkan dia bertanya padaku sebenarnya apa
salahnya padaku, kenapa aku jadi bersikap dingin padanya. Aku pun hanya diam,
dan membiarkan dia berlalu begitu saja. Teman sebangkuku memberi nasehat
padaku, bahwa aku tak boleh mengacuhkan dia seperti itu, bahkan meski aku
sangat-sangat membencinya. Tapi,,, aku malah berkata balik kepadanya.
”Tak, perlu kau nasehati aku. Bukankah sampai
sekarang ini kau sedang ada masalah juga dengan sahabatmu dan bahkan
persahabatan kalian sampai rusak. Jadi....tak perlu menasehatiku,” tegasku.
*******
Jam
pelajaran berakhir dan anak itupun langsung melesat keluar kelas. Takku
perhatikan betapa cepat langkah kakinya, yang ku tahu dia hanya melesat secepat
kilat hingga tak kudapati batang hidungnya lagi. Aku menunggu sahabat-sahabatku
yang masih belum pulang di kelas sebelah. Seperti biasa aku kembali bercerita
tentang sebegitu bencinya aku pada anak itu.
*******
Esok
menjelang, udara terasa begitu dingin pagi ini. Kuambil switer berwarna ungu
muda di almari dan aku pun segera melesat keruang makan untuk sarapan bersama
ayah, bunda dan adikku. Usai sarapan seperti biasa angkutan umum didepan yang
lewat depan rumahku pun aku hentikan. Ternyata di dalam angkutan umum itu aku
bertemu dengan teman SMPku yang juga satu SMA denganku juga. Meski tak begitu
kenal akrab tapi aku dan dia bisa cepat nyambung jika ngobrol. Dia bercerita
tentang anak yang aku benci itu, pasalnya dia kenal betul anak itu karena
pernah satu kelas dengannya. Argumen temanku tentang Reza semakin menguatkan
kebencianku padanya.
Disekolah,
kelas masih begitu sunyi. Maklumlah aku terlalu pagi berangkat kesekolah. Aku
berfikir sikap apa yang harus aku tampakkan padanya hari ini. Jujur hati
kecilku begitu sakit mengacuhkannya kemarin. Pasalnya aku tak pernah melakukan
itu pada satu orangpun. Baru padanya aku melakukan itu, karena begitu sakitnya
hatiku melihat setiap sikapnya itu. Teman sebangkuku pun datang dan membuyarkan
lamunku.
*******
” Hei, sedang apa?”
” Emmm....nggak sedang melakukan apapun kok. Oh, ya..by the way akumintama’afya.. samakamukarenaucapanku yang
begitukasarpadamu. Akunggakbermaksudbersikapsepertiitu.
Tak lama
kemudiananakitudatangdansepertibiasa pula
menyapakudengansenyumnya.Akupunmembalasnyadengansenyuman
pula.Hinggamembuattemansebangkukuheran.
“ Hemmm….udah nggak marah lagi ya?”
” Eh, iya, aku nggak bisa jika harus
terus-terusan marah padanya. Aku sadar bahwa itu sepenuhnya juga bukan
kesalahannya. Yah...mungkin aku yang terlalu sensi padanya. Tapi, jujur rasanya
begitu sakit bersikap dingin pada orang lain,” jelasku.
” Wahhh...aku iri deh ma kamu, kamu bisa
menahan rasa sakitmu sendiri dan bahkan kau manpu membuang semua ego dan rasa
dendammu yang membara padanya,”
” He’em aku juga nggak ngerti dengan diriku
sendiri. Dari dulu hingga sekarang tiap kali aku membenci seseorang aku tak
pernah bisa mendiamkannya dan bahkan tidak menyapanya lebih dari sehari. Dan
itu pun terjadi pula dengan orang yang paling kubenci di dunia ini, aku tak
pernah bisa bersikap sedingin itu,”
******
Sejak saat itu, pertemananku dengannya
kembali seperti semula. Aku buang semua rasa egoku dan aku kendalikan rasa
kebencian dan dendamku padanya. Hingga ku sadari bahwa dia memang benar-benar begitu baik padaku. Mungkin
aku yang terlalu sensitif dan masih dikendalikan oleh rasa phobiaku padanya
hingga beranggapan bahwa dia adalah orang yang paling jahat didunia ini yang
pernah aku kenal.
Tapi,,,seiring
dengan berjalannya hari, perlahan tapi pasti aku mulai bisa membuka diri
padanya. Aku bercerita tentang apa saja dan dia pun bisa menanggapi
cerita-ceritaku dengan nasehat dan saran-sarannya yang membangun. Meski nada
bicaranya kadang sering menyinggung perasaanku, tapi aku mencoba untuk mengerti
dirinya. Mungkin itu sudah menjadi sifatnya, dan sifat seseorang itu tidak bisa
dirubah begitu saja.
*******
Aku pun semakin percaya bahwa dia adalah
teman yang Tuhan turunkan dari langit untuk menemaniku menepis rasa sepiku. Dia
memang tak sebaik Arif, dan bahkan perkataanya pun tak selembut kata-kata Arif
orang yang diam-diam aku kagumi itu. Tapi,,, dia selalu ada disaat aku sedang
kesepian. Dia selalu ada di saat aku sedang merasa sedih. Meski dengan
lelucon-lelucon yang bagiku tak begitu lucu, dia selalu mencoba menghiburku.
Dia mencoba menenangkanku disaat tangisku tak mampu aku tahan. Dia memberi
nasehat dan saran-saran yang bisa sangat membantu bagiku. Bahkan dia tak lagi
seperti teman yang Tuhan turunkan untukku, tapi,,,dia sudah seperti kakak
bagiku.
Menjelang
perpisahan kelulusan, aku semakin yakin dan percaya bahwa dia begitu berarti
bagiku. Aku tak tahu bagaimana jadinya aku tanpanya. Aku mungkin hanya akan
menjadi anak yang tetap duduk diam di bangkuku tanpa mengenal bahwa begitu
banyak keindahan di sekelilingku yang patut ku nikmati. Meski tak genap satu
tahun aku mengenalnya, tapi dia tlah memberiku sejuta kebahagiaan. Terimah
kasih temanku untuk semua kebaikanmu. Selamanya kau akan jadi teman terbaik
yang pernah hadir dalam hidupku.
******
Kita memang baru menyadari bahwa seseorang
itu begitu berarti bagi kita, jika kita hendak berpisah dengannya. Dan itupun
terjadi padaku. Pikirku melayang, memikirkan akankah kudapati orang sebaik dia
dikehidupan mendatang. Akankah ada seseorang yang mau peduli padaku, untuk
mengusap tangisku, untuk membantuku berdiri saat aku terjatuh, dan bahkan orang
yang selalu berusaha menghadapi sifatku yang begitu pemarah dengan sabarnya.
Tuhan....mudah-mudahan suatu saat nanti aku bisa temukan teman yang sebaik dia
lagi. Mudah-mudahan kau kirimkan teman dari langit lagi untukku.
Selamat tinggal temanku, teman-teman
terbaikku. Terima kasih tlah mau menjadi temanku. Suka dan duka tlah kita lalui bersama
sepanjang kita mengenakan seragam abu-abu. Tapi ingatlah, meski kita pada
akhirnya harus berpisah,,, percayalah dalam hati bahwa suatu saat nanti kita
pasti akan dapat bertemu lagi dan mengulang kembali cerita kita yang sempat
tertunda.
******
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar