Matahari terbit di ufuk timur. Terik sinarnya
menyelinap masuk lewat jendela kamar Lita yang bergorden hijau muda dengan
motifkotak-kotak. Lita pun terbangun karena sinar yang menyilaukan itu tepat
mengenai matanya. Dia mencoba untuk membuka matanya seketika itu. Perlahan demi
perlahan akhirnya dia pun bisa membuka matanya dengan lebar tanpa harus
memincingkannya lagi karena sinar terik itu. Lita bergegas membuka gorden
jendela kamar tidurnya. Terlihat disana sini masih ada sisa-sisa air hujan yang
turun begitu deras tadi malam. Akan tetapi, bunga-bunga terlihat begitu segar
bahkan lebih segar dari biasanya hingga terlihat lebih indah. Semua itu juga
menguntungkan bagi Lita karena dia tidak perlu mengerjakan tugas untuk menyiram
bunga pagi itu.
Setelah itu dirapikannya seprei kamar
tidurnya yang juga berwarna biru muda. Maklumlah hampir semua barang-barang
yang ada di kamar Lita berwarna biru muda. Dia begitu menyukai warna biru.
Baginya warna biru adalah keindahan. Pasalnya dia sering menemukan warna biru
di mana-mana. Entah itu warna langit, laut atau bahkan warna warung bu Lilik
langganan tempat ia membeli gorengan setiap hari di sekolahnya, belum lagi
setiap berjalan menuju ke sekolah di kanan kiri jalan begitu banyak
bangunan-bangunan warna biru.
”Lita.........ayo bangun?” Ayah sudah
menunggumu dari tadi,” teriak ibunya.
”Iya, bu....Lita udah mau selesai mandi,”
ucapnya.
*******
Bergegas
Lita mengambil handuk yang berjajar rapi di jemuran. Untunglah handuknya
terselamatkan dari hujan deras tadi malam karena ibunya sudah memasukkan
jemuran-jemuran kering ke dalam rumah. Air terasa begitu dingin lebih dingin
dari biasanya. Mungkin hujan yang turun tadi malam penyebabnya hingga membuat
Lita mempercepat mandinya karena merasa kedinginan.
Di
ambilnya baju putih abu-abu di almari gantungan. Tak terasa sudah satu tahun lamanya ia duduk
di bangku kelas XI SMA. Masa-masa sulit sudah di laluinya kini dia hanya
tinggal beradaptasi dengan suasana kelas barunya nanti di kelas XII. Ayahnya
dari tadi menunggunya di meja makan sembari membaca koran pagi. Ibunya pun
sudah siap dengan hidangan-hidangannya yang terasa sangat lezat. Apalagi ibunya
menyempatkan untuk memasakkan makanan favorit Lita untuk sarapan pagi itu. Sarapan pun berakhir ketika lita meneguk
segelas susu yang ibunya siapkan. Dia dan ayahnya pun segera melesat menuju ke
sekolahnya dengan sepeda motor Revo berwarna silver.
”Belajar yang baik,” pesan ayahnya.
”Oke, yah,” jawabnya.
*******
Suasana
kelas begitu sunyi di pagi hari. Tetes-tetes air hujan masih terlihat di
sana-sini bahkan ada jalan-jalan yang becek. Lita pun langsung menuju ke
kelasnya yang berada di seberang lapangan basket. Tak ada satu pun siswa yang
datang pagi itu. Hanya ada tukang kebun yang sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan Lita pun kerap sering di godai oleh
para tukang kebun itu.
”Lhoo, Neng?” Ini masih jam berapa?” Pasti
belom mandi udah berangkat ke sekolah ya, kok datang sepagi ini?,” kata tukang
kebun di sekolahnya.
Lita
pun hanya menanggapinya dengan senyuman kecil yang tersungging di pipinya yang
lesung itu. Tak
begitu lama akhirnya banyak siswa yang datang. Begitu juga dengan Nia teman
satu bangkunya. Di barisan kedua dari pintu ruang kelas tepatnya di bangku
paling depan mereka duduk bersama. Awalya Lita tak menyangka bisa duduk satu
bangku dengan anak sejenius Nia dan berteman akrab dengannya. Tapi, itu mungkin
sudah menjadi takdir baginya. Dan dia pun menerima takdir itu dengan senang
hati. Apalagi dengan adanya Nia disampingnya dia bisa bercerita apa saja
padanya begitupun Nia yang juga selalu bersikap terbuka padanya.
”Waaahhh, jantungku berdegup kencang nih
menunggu hasil pembagian kelas nanti,” ucap Nia suatu ketika.
”Iya, aku juga. Mudah-mudahan kita bisa satu
kelas lagi yach?,” ucap Lita.
*******
Hari
pun mulai siang dan ketiga sahabatnya yang lain pun datang. Hari itu memang tak
banyak anak yang datang pagi karena di sekolah tidak ada pelajaran hanya
pembagian kelas saja. Pukul 9.00 tepat pembagian kelas pun di umumkan. Dan
begitu sedihnya hati Lita ketika dia mendapati dirinya tidak satu kelas lagi
dengan keempat sahabatnya itu. Rasa kecewa tak mampu ia bendung hari itu,
hampir saja tangisnya pecah seketika itu tapi, untung saja keempat sahabatnya
itu selalu menghiburnya. Bagaimana mungkin Lita tidak kecewa dengan pembagian
kelas itu. Pasalnya sebagian besar teman-temannya di kelas XI beserta keempat
sahabatnya itu berada dalam satu kelas hanya dia dan sebagian kecil temannya
saja yang terpisah.
Tapi,
sekali lagi Lita tak dapat menolak. Karena itu semua sudah menjadi takdir
baginya. Padahal sebelumnya dia sudah berencana menghabiskan waktu-waktunya
yang tersisa di masa SMA bersama-sama dengan keempat sahabatnya itu.
”Sudah Lit, nggak apa-apa meskipun kita tidak
satu kelas lagi,” ucap Santi sahabatnya.
”Iya, Lit, kita kan masih bisa bertemu setiap
hari,” ucap Distya sahabatnya yang lain.
”He’em toh kita nggak akan meninggalkanmu
sendiri kok,” ucap Via menambahkan.
”Tapi, kalian janji yach, akan sering-sering
mengajakku main dan mengajariku kalau aku ada kesulitan dalam pelajaran,” pinta
Lita dengan manjanya kepada keempat sahabatnya itu.
”Pastilah, itulah gunanya sahabat,” seru Nia.
*******
Usai
pembagian kelas, mereka langsung menuju ke kelas mereka masing-masing. Lita
memilih bangku sebelah jendela urutan kedua. Dia tidak mau lagi duduk di
barisan kedua dari pintu dan duduk di deretan paling ujung tanpa adanya Nia.
Lita tak pernah menyangka bahwa nasibnya akan seperti ini. Dia juga tak mengira
bahwa dia akan kesepian bahkan tidak mendapatkan teman untuk duduk bersama.
Seketika itu seseorang datang menghampirinya.
” Hey, ayo kita pergi ke bu Tri,” ajaknya
pada Lita.
” Lho, emangnya mau ngapain,” ucap Lita.
” Ya, ngambil soal-soal kimia lah,”
”Kamu aja deh yang ngambil. Entar bangkuku di ambil orang,” tambah Lita.
Kemudian
dia menyuruh kedua temannya yang berasal dari kelas yang sama dengannya untuk
menjaga bangku Lita agar tidak di ambil orang. Dan kemudian mereka pun pergi
menemui bu Tri. Sepintas Lita merasa bahwa anak itu begitu baik di awal pertemuannya.
Bukan awal sih tepatnya karena mereka pernah bertemu sebelumnya di perlombaan
yang melibatkan dia dan dirinya. Semua yang di katakan tentangnya oleh
teman-temannya yang pernah satu kelas dengannya begitu berbeda. Lita pun
berfikir mungkin dia sudah merubah sikapnya yang dulu.
Usai
mengambil soal-soal perlombaan kimia dari bu Tri mereka kembali ke kelas.
” Hey, kamu nggak mau ngucapin terima kasih
ma kedua temenku yang udah menjagain bangkumu,” ujar anak yang bernama Ahmad
itu.
”Emmm, iya terimah kasih yach,” ucap Lita
pada kedua anak itu.
*******
Kemudian Lita bergegas pulang ketika ia
mendapati kedua sahabatnya berada di ambang pintu. Hari itu mereka pulang lebih
awal. Pasalnya nggak ada pelajaran seusai pembagian kelas.
Sesampainya
di rumah Lita bergegas masuk kamar. Ia masih tidak percaya bahwa dirinya tidak
satu kelas lagi dengan sahabat-sahabatnya. Dia pun tak dapat memikirkan bagaimana dia
harus menjalani semua itu.
Paginya, di sekolah tampak ricuh. Semua anak
berebut memilih tempat duduk tapi Lita berjalan dengan santai karena dia sudah
memilih tempat duduk. Lita pun sudah mendapatkan teman untuk duduk satu bangku
dengannya yakni teman satu kelasnya dulu di kelas XI. Ketika dia memasuki ruang
kelas dia begitu terkejut mendapati bangkunya sudah di tempati orang lain. Dia
bahkan meminta mereka dengan baik-baik untuk pindah karena bangku itu sudah di
pilihnya kemarin. Tapi sedikitpun mereka tak menghiraukan perkataan Lita. Hal
yang sama pun terjadi pada Risa dan Dwi anak yang membantu menjagakan bangku
Lita kemarin. Sejak saat itu Lita marah, dan membanting tasnya di bangku bagian
tepan yang masih tersisa. Setidaknya di bangku itu berisi deretan
teman-temannya yang satu kelas dengannya dulu. Ajeng teman satu bangkunya pun
setuju dengan usul Lita untuk duduk di bangku paling depan dari pada duduk di
bangku paling belakang.
*******
Lita
hanya duduk melamun di bangkunya. Dia tidak percaya bahwa awal masuk di kelas
itu sudah begitu membuatnya marah. Apalagi esok hari dan seterusnya semua
pikiran itu berkecamuk di pikirannya. Andai saja ada sahabat-sahabatnya dia pasti tidak akan sesedih ini. Tiba-tiba
ada seseorang yang membuyarkan lamunan Lita.
” Hey, kenapa kok cemberut aja? Sedih ya tidak satu kelas dengan teman-teman
baikmu lagi. Aku juga gitu sedih banget nggak sekelas lagi ma temen baikku,”
ucapnya panjang lebar pada Lita.
Lita hanya menanggapinya dengan senyum kecut.
Pasalnya dia takut apa yang di katakan
teman-temannya tentang Ahmad adalah kenyataan. Hari itu pun pelajaran tidak di
adakan. Hanya ada pembagian pengurus kelas. Ketika sekolah usai dia menunggu di
bangku tempat duduk depan kelas sahabat-sahabatnya. Dan mereka berdua pun melesat pulang ketika
sekolah berakhir.
*******
Hari-hari di sekolah Lita lalui dengan tidak
begitu menyenangkan. Tapi untunglah ada Ahmad yang selalu bisa menghiburnya.
Baginya Ahmad adalah teman yang diturunkan dari langit untuk menemaninya.
Bahkan mereka menjadi lebih akrab karena selain bertemu di kelas mereka juga
bertemu di sela-sela bimbingan pelajaran kimia yang akan mereka ikuti
perlombaannya. Hadirnya Ahmad membuat Lita menjadi tidak merasa sendirian lagi.
Semua perkataan temannya tentang Ahmad tidak di hiraukannya lagi karena pada
kenyataannya Ahmad begitu berbeda dari apa yang temannya katakan.
Akan tetapi pemikiran Lita tentang Ahmad
semuanya salah. Ahmad tak sebaik yang ia kenal sebelumnya. Entah dia menjadi
berubah setelah beberapa bulan mengenal Lita. Atau mungkin memang itulah sifat
Ahmad yang sebenarnya, yang kerap di ceritakan teman-temannya dulu. Ahmad yang
sekarang di kenalnya sangat berbeda dari Ahmad yang dulu. Bahkan anggapan Lita
bahwa Ahmad adalah teman dari langit yang Tuhan kirimkan untuknya itu salah. Dia hanya bisa diam menghadapi semua itu.
” Kenapa Lit,” tanya Nia sahabat Lita.
” Ahmad, ma aku benci banget sama dia. Kenapa sih dia jahat banget sama aku. Padahal
aku selalu bersikap baik padanya. Tapi dia selalu membuatku marah-marah,”
” Tuh, kan apa yang di bilang Dian tentangnya
benar kan? Kalau dia itu anak yang menyebalkan,” tambah Santi.
” Sabar, Lit. Kau harus sabar menghadapinya
dan bertahanlah sebentar saja. Toh setelah lulusan nanti kamu tidak akan
bertemu lagi dengannya. Jadi kamu yang sabar aja menghadapinya. Aku yakin kok
kalau kamu sanggup menghadapi semua ini,”
” Iya, Lit. Kenapa kamu harus capek-capek
membuang air matamu buat orang menyebalkan semacam dia,” ujar Distya.
” Iya, kalian benar. Makasih ya Rahma dan
makasih juga buat semua sahabat-sahabatku, kalian memang teman-teman terbaikku
yang mampu mengahapus semua kesedihanku,”
” Itulah, gunanya sahabat Lit,” tambah Via.
*******
Akhirnya Lita kembali menemukan sahabatnya
lagi. Mereka berjanji
nggak akan membiarkan Lita bersedih lagi. Dan mereka juga minta ma’af karena
membiarkan Lita sendirian terus akhir-akhir ini. Bagi Lita Ahmad bukan lagi
teman yang Lita anggap di turunkan oleh Tuhan dari langit. Kekaguman Lita pada
Ahmad sebagai teman yang baik sebelumnya berubah menjadi kebencian yang sangat
besar. Bahkan dia tidak mau lagi bicara dengan Ahmad. Keempat sahabatnya hanya
bisa diam melihat sikap Lita yang dingin terhadap Ahmad. Karena mereka tahu
bahwa mungkin berat bagi Lita untuk menerima semua itu. Bahkan keempat
sahabatnya pun juga membenci Ahmad tapi bukan karena Lita. Tapi memang karena
mereka telah mengetahui sifat Ahmad yang sesungguhnya. Akan tetapi, kebencian
keempat sahabat Lita terhadap Ahmad itu masih belum begitu besar jika di
bandingkan kebencian Lita terhadap ahmad.
Teman
dari langit, bagi Lita itu hanyalah hayalan Lita saja disela-sela kesendiriannya.
Baginya sekarang teman dari langit itu tidak lagi ada. Yang ada hanyalah Ahmad,
orang yang sangat ia benci selama-lamanya. Entah sampai kapan kebencian itu
melekat di hati Lita. Yang jelas kebencian Lita itu telah menyegel hatinya
untuk tidak mau lagi menerima kehadiran Ahmad dalam hidupnya bahkan hanya
sebatas teman biasa pun ia enggan untuk melakukannya.
*******
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar