Jumat, 13 Juli 2018

Di Tengah Rintik Hujan





Ditengah rintik hujan ayahku meninggalkan ibuku bersama wanita lain. Ditengah rintik hujan itu pula aku lahir di dunia ini. Suara tangisku sewaktu bayi memecah tangis ibuku. Pasalnya di saat yang membahagiakan itu seharusnya ibu di dampingi oleh ayahku. Tapi, nyatanya tidak. Hanya kakakku yang baru berumur tujuh tahun itulah yang menemani ibuku, yang menjaga ibuku bahkan yang meminta pertolongan kepada para tetanggaku untuk mengantarkan ibu ke rumah sakit sewaktu hendak melahirkanku. Itulah yang membuat aku begitu mencintai ibu dan kakakku. Setiap hari ibu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan kami berdua. Hingga bisa meluluskan kakakku sampai pendidikan SMA.
            Setelah lulus SMA kakakku enggan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Pasalnya ia tidak tega melihat ibuku yang bekerja keras setiap hari. Dan akhirnya dia memutuskan untuk pergi merantau ke kota mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami. Ditengah rintik hujan aku dan ibuku mengantar kepergian kakakku di stasiun kereta. Kakakku berpesan agar aku menjaga ibu dengan baik selama dia tidak ada. Seketika itu tangisku pun pecah, aku tidak sanggup melepas kepergian kakakku itu. Kakak yang selalu menjaga aku dan ibuku. Kakak yang menggantikan sesosok ayah yang tak pernah aku kenal.Kakakku mencium keningku dengan manis dan menghapus tangisku.
”Jangan menangis, kakak pasti kembali,” ucapnya padaku.
*******
Di ciumnya pula kedua ibuku dan di ciumnya pula tangan ibuku sembari meminta doa pada ibu supaya dia bisa cepat mendapat pekerjaan di kota. Akhirnya tak lama setelah itu kakakku pun melesat dengan keretanya sembari melambaikan tangannya. Aku dan ibu pun kembali pulang setelah tak melihat sehelai rambut kakakku pun yang telah melesat jauh.
Ibu tak henti-hentinya menangis di rumah. Padahal sewaktu kakakku pergi ibu tidak menangis sedikitpun. Mungkin ibu tidak mau membuat kakakku cemas. Aku mencoba menenangkan ibuku dan akhirnya tersungging senyum manis dari wajah ibu yang tampak menua itu. Aku selalu yakin bahwa kakakku akan pulang suatu saat nanti dan setiap minggu akan mengirim surat untukku.
Sudah tujuh tahun lamanya kakakku pergi merantau. Tapi, tak tercium satu kabarpun tentangnya. Dia hanya mengirimkan uang setiap bulannya pada kami dan tidak pernah mengirim surat lagi padaku sejak lebaran tahun lalu. Ya,,, aku berfikir mungkin kakakku terlalu sibuk dengan pekerjaannya sekarang. Namun, tak dapat kupungkiri bahwa aku benar-benar merindukan kakak tercintaku.
”Ada, apa Tya kok kamu terlihat murung. Bukankah seharusnya kita senang karena sebentar lagi kita lulus SMA?,” tanya temanku suatu ketika.
”Oh, nggak apa-apa kok. Aku hanya....,” ucapku tak berlanjut.
”Kamu kenapa, memikirkan kakakmu lagi?,”  tanya temanku lagi.
”Eh, nggak. Nggak ada apa-apa kok,” jawabku sekenanya.
*******
            Aku memang tidak pernah bisa terbuka tentang perasaanku kepada teman-temanku. Bahkan pada sahabatku sendiri Mutia. Entahlah aku sendiri tidak tahu mengapa. Padahal aku ingin sekali berbagi bersamanya seperti dia yang selalu bisa terbuka padaku. Tapi, setiap kali aku berucap satu patah kata setiap kali pula kata-kata itu tak pernah berlanjut hingga membuat sahabatku itu terheran-heran.
            Aku malu jika harus menceritakan kehidupan pribadiku pada sahabatku. Aku selalu di liputi rasa takut kalau mereka akan meninggalkanku jika mereka tahu kalau ayahku meninggalkan ibuku gara-gara selingkuh dengan wanita lain. Satu-satunya yang dapat aku ceritakan dan aku bangga-banggakan hanyalah kakakku Riyan yang kini merantau entah di mana.
            Kelulusan pun tiba. Aku berharap bahwa tidak hanya ibu yang hadir saat kelulusanku itu. Aku berharap bahwa kak Riyan bisa hadir di tengah-tengah kebahagiaanku. Aku ingin sekali berbagi kebahagiaan dengannya. Tapi, takdir berkata lain, kak Riyan tidak hadir di sana. Di saat aku menerima ijazah dan penghargaan-penghargaan karena pengapdianku pada sekolahku. Kak Riyan tidak hadir untuk memberiku ucapan selamat dan memberiku pelukan manis. Ku lihat sekeliling semua siswa-siswi di dampingi oleh orang tua mereka masing-masing ada ibu mereka yang membantu merapikan baju mereka dan ada ayah mereka yang selalu memberi semangat pada mereka. Sedangkan aku hanya ada ibu di sampingku dan tersisa satu bangku kosong disampingku yang aku harap bisa di isi oleh kak Riyan.
*******
            Aku tak mau berfikiran buruk tentang kakakku itu. Mungkin dia tidak bisa hadir karena terlalu sibuk dengan pekerjaan-pekerjaannya yang tidak bisa ia tinggalkan. Hingga ia tidak bisa hadir saat kelulusanku. Tangis ibuku berlinang ketika beliau melihatku menerima penghargaan dari sekolah sebagai lulusan terbaik tahun ini. Dan aku bersama ibu pun pulang ke rumah dengan air mata bahagia namun tetap menyimpan kerinduan pada kakakku.
            Kakakku berpesan di surat terakhirnya bahwa aku harus meneruskan sekolah ke kedokteran untuk meraih cita-citaku. Bagaimanapun caranya kakakku akan berusaha untuk itu. Dan akhirnya aku pun di terima di fakultas kedokteran di Universitas terkemuka di kotaku. Mungkin karena semua itu kakakku bekerja keras dan tidak pernah bisa membalas surat-surat yang aku kirim lagi. Padahal aku dan ibu sangat menunggu kabar darinya.
            Hujan rintik ketika aku berangkat kuliah pagi itu. Kau tahu bertapa bencinya aku pada rintik hujan. Karena rintik hujanlah aku menjadi seperti ini. Karena rintik hujan ibuku kehilangan orang yang ia cintai dan karena rintik hujanlah aku harus merelakan kakakku untuk pergi. Kututup payungku yang berwarna ungu muda itu ketika aku sampai di tempat kuliah. Tak kubiarkan setetespun rintik hujan itu menyentuh tubuhku. Hingga sampai di tempat kuliahku aku masih terlihat rapi tanpa basah sedikitpun.
”Lho, Tya kamu naik apa kok bajumu nggak basah sama sekali,” tanya temanku.
”Eh, aku jalan kaki kok dari rumah,”
”Tapi, kenapa tidak basah sedikitpun ya? Padahal aku aja yang naik mobil masih basa karena rintik hujan,” tanya temanku lagi.
*******
            Aku hanya menanggapinya dengan senyuman. Rintik hujan tak pernah berhenti sampai kuliahku usai. Aku mencoba menunggu hingga reda. Tapi, tak kunjung reda. Aku teringat dengan semua kejadian-kejadian yang menimpaku saat rintik hujan turun hingga aku menjadi takut untuk berjalan di tengah rintik hujan. Ketika berangkat aku bisa mengatasi rasa takutku karena ada ibuku yang menenangkanku. Tapi kini aku hanya sendiri. Aku menangis lirih di pojok kampusku. Kenangan-kenangan buruk itu kembali menguak membuat dadaku terasa sesak dan akhirnya aku pingsan. Ketika sadar aku sudah berada di rumah sakit kampusku.
”Kamu, sudah baikan,” tanya seseorang padaku.
”Eh, iya. Aku sudah sedikit baikan kok,”
”Ngomong-ngomong namamu siapa sih. Aku biasa melihatmu sendiri di pojok kampus jika rintik hujan turun,” tanyanya padaku.
”Emm, namaku Tya,”
”Oh, Tya dari fakultas kedokteran juga yach,”
”Lho, kok tahu,”
”Iya, aku juga di fakultas kedokteran tiga tingkat lebih tinggi dari mu dan aku sering melihatmu tapi, aku nggak tahu siapa namamu,”
”Kamu yang membawaku kesini?,” tanyaku.
”Iya, kamu tadi pingsan,”
”Kalau begitu terima kasih ya?”
”Lho, kamu nggak mau pulang. Katanya udah baikan,”
”Emm, aku masih menunggu rintik hujan reda,”
”Sampai kapan kau harus menunggu, setiap kali aku melihatmu menunggu hingga rintik hujan reda kau baru mau pulang. Memangnya kau tidak suka dengan rintik hujan,”
”Iya, aku sangat membencinya,”
”Memangnya kenapa, semua orang suka berjalan ditengah rintik hujan. Mereka senang tubuh mereka basah akan air hujan. Lagi pula rintik hujan adalah anugerah yang Allah berikan pada kita,”
”Sekali tidak suka, aku tetap tidak suka,” tandasku dengan nada tinggi sembari meninggalkannya dan bergegas pulang karena rintik hujan telah reda.
*******
            Kejadian hari itu membuatku semakin membenci rintik hujan. Setiap kali rintik hujan turun selalu terjadi hal-hal yang buruk padaku. Aku benci rintik hujan. Sejak saat itu pula aku semakin phobia terhadap rintik hujan. Bahkan aku rela meski harus menunggu sampai larut malam hingga rintik hujan itu reda aku baru bergegas pulang. Entah, mungkin ibuku cemas di rumah tapi mungkin beliau sudah terbiasa dengan sifatku ini.
”Kamu kenapa sih nggak pulang-pulang,” tanya anak yang menolongku waktu itu.
Aku pun hanya diam tidak menyahutinya.
”Oh, ya namaku Fatir. Apakah aku boleh menemanimu sampai rintik hujannya reda?,” ucapnya padaku.
Aku pun hanya diam tak menyahut sepatah-kata pun.
”Kalau kamu tidak pulang nanti orang tuamu cemas,”
*******
Kemudian dia menarik tanganku. Membawaku menuju ke tengah rintik hujan. Semua itu membuatku takut dan menangis sejadi-jadinya. Bahkan hingga membuatku pingsan. Ketika aku terbangun keesokan harinya kudapati rintik hujan lagi. Aku tak mau melihatnya barang sekejap. Ibuku datang menengok keadaanku yang tidak pulang semalaman karena aku pingsan dan di bawa ke rumah sakit kampus. Dan Fatir pun minta ma’af padaku karena dia yang membuatku seperti ini. Kini dia tahu semua tentangku mengapa aku begitu takut dengan rintik hujan. Ibuku menceritakan semuanya pada Fatir karena ibu ternyata kenal akrab dengan mamanya Fatir yang satu sekolah dengannya dulu. Ibu dan mamanya Fatir pun berharap bahwa Fatir mau menjagaku.
”Tya,” desah Fatir suatu ketika. ”Bukan rintik hujan yang salah atas apa yang sudah terjadi padamu. Mungkin semua itu sudah takdir dari Allah bahwa kau harus mengalami semua itu bertepatan dengan ketika rintik hujan turun,”
Aku hanya terdiam dan terdiam. Hingga Fatir menggandeng tanganku lagi membawaku ke tengah rintik hujan lagi.
”Aku, tak peduli meskipun kau akan sakit lagi. Aku tak peduli meski aku harus memapahmu yang berkali-kali pingsan. Aku tak peduli meski air matamu menetes seiring dengan tetesan rintik hujan. Aku hanya ingin kau menghilangkan rasa takutmu,” ucap Fatir padaku.
*******
            Seketika itu aku hampir pingsan lagi. Mataku kabur tapi aku masih bisa melihat ibuku dan mamanya Fatir melihat aku dan Fatir ditengah rintik hujan. Badanku terasa lemas hingga aku melihat sesosok orang bertubuh kurus menghampiriku dan memelukku hingga akhirnya aku tak dapat bertahan.
            Ketika aku sadar, melihat orang itu berada di sampingku. Menggenggam erat tanganku sembari meneteskan air mata. Wajahnya tampak kurus tapi dia masih terlihat tampan sejak perpisahan kita tujuh tahun yang lalu. Dialah kakakku, kakak yang selalu aku bangga-banggakan, dan kakak yang selalu aku rindukan. Aku pun langsung memeluknya dengan erat.
”Tya, maafkan kakak yach, kakak tidak menjagamu dengan baik. Ma’afkan kakak, karena kakak kamu jadi takut pada rintik hujan. Ma’afkan kakak juga karena tidak pernah mengirim kabar padamu, maafkan kakak.....,”
Beribu kata ma’af kakak ucapkan padaku.
”Kakak tidak perlu minta maaf pada Tya. Seharusnya Tya yang minta ma’af karena Tya tidak bisa menjaga diri dengan baik apalagi menjaga ibu. Asalkan kakak ada di sini Tya pasti bisa melewati semuanya dengan baik. Kakak jangan pernah tinggalkan Tya dan ibu lagi kak,” ucapku.
”Tapi Tya, kakak tidak bisa. Kakak masih harus bekerja sampai kamu lulus nanti,”
”Tapi, kak,,,Tya nggak butuh semua ini. Tya rela jika harus melupakan cita-cita Tya untuk menjadi dokter. Tya nggak ingin kakak bekerja keras lagi karena Tya. Apalagi kakak sudah agak kurusan. Apa kakak tidak sayang sama Tya.Tya nggak mau kakak pergi lagi,”
” Tya bukankah Tya sudah berjanji pada kakak akan menjadi adik yang tegar, yang bisa menjaga ibu dengan baik. Kakak melakukan semua ini karena kakak sayang sama Tya. Dan kalau Tya juga sayang sama kakak maka Tya harus lulus dan menjadi dokter sesuai cita-citamu. Kamu mengerti?,” ucap kakaku sembari berlinang air mata dan mendekapku erat.
Akhirnya kakak tetap pergi meskipun aku melarangnya. Kakak tetap menjalankan tugasnya sebagai kepala keluarga pengganti ayah. Kakak pun menitipkanku pada Radit yang ternyata teman baik kakakku semasa SMA. Kini kakakku tidak khawatir lagi pada aku dan ibu karena dia percaya bahwa Fatir akan menjaga kami. Sejak saat itulah aku tidak lagi takut pada rintik hujan. Semunya berkat Fatir dan kakakku.
*******

 THE END




Tidak ada komentar:

Posting Komentar