Ditengah rintik hujan ayahku meninggalkan
ibuku bersama wanita lain. Ditengah rintik hujan itu pula aku lahir di dunia ini. Suara tangisku
sewaktu bayi memecah tangis ibuku. Pasalnya di saat yang membahagiakan itu
seharusnya ibu di dampingi oleh ayahku. Tapi, nyatanya tidak. Hanya kakakku
yang baru berumur tujuh tahun itulah yang menemani ibuku, yang menjaga ibuku
bahkan yang meminta pertolongan kepada para tetanggaku untuk mengantarkan ibu
ke rumah sakit sewaktu hendak melahirkanku. Itulah yang membuat aku begitu
mencintai ibu dan kakakku. Setiap hari ibu bekerja keras untuk memenuhi
kebutuhan kami berdua. Hingga bisa meluluskan kakakku sampai pendidikan SMA.
Setelah
lulus SMA kakakku enggan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Pasalnya ia tidak tega melihat ibuku yang
bekerja keras setiap hari. Dan akhirnya dia memutuskan untuk pergi merantau ke kota mencari pekerjaan
untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami. Ditengah rintik hujan aku dan ibuku mengantar kepergian
kakakku di stasiun kereta. Kakakku berpesan agar aku menjaga ibu dengan baik
selama dia tidak ada. Seketika
itu tangisku pun pecah, aku tidak sanggup melepas kepergian kakakku itu. Kakak
yang selalu menjaga aku dan ibuku. Kakak yang menggantikan sesosok ayah yang
tak pernah aku kenal.Kakakku mencium keningku dengan manis dan menghapus
tangisku.
”Jangan menangis, kakak pasti kembali,”
ucapnya padaku.
*******
Di ciumnya pula kedua ibuku dan di ciumnya
pula tangan ibuku sembari meminta doa pada ibu supaya dia bisa cepat mendapat
pekerjaan di kota. Akhirnya tak lama setelah itu kakakku pun melesat dengan
keretanya sembari melambaikan tangannya. Aku dan ibu pun kembali pulang setelah
tak melihat sehelai rambut kakakku pun yang telah melesat jauh.
Ibu tak henti-hentinya menangis di rumah.
Padahal sewaktu kakakku pergi ibu tidak menangis sedikitpun. Mungkin ibu tidak
mau membuat kakakku cemas. Aku mencoba menenangkan ibuku dan akhirnya
tersungging senyum manis dari wajah ibu yang tampak menua itu. Aku selalu yakin
bahwa kakakku akan pulang suatu saat nanti dan setiap minggu akan mengirim
surat untukku.
Sudah tujuh tahun lamanya kakakku pergi
merantau. Tapi, tak tercium satu kabarpun tentangnya. Dia hanya mengirimkan
uang setiap bulannya pada kami dan tidak pernah mengirim surat lagi padaku
sejak lebaran tahun lalu. Ya,,, aku berfikir mungkin kakakku terlalu sibuk dengan pekerjaannya
sekarang. Namun, tak dapat kupungkiri bahwa aku benar-benar merindukan kakak
tercintaku.
”Ada, apa Tya kok kamu terlihat murung.
Bukankah seharusnya kita senang karena sebentar lagi kita lulus SMA?,” tanya
temanku suatu ketika.
”Oh, nggak apa-apa kok. Aku hanya....,” ucapku tak berlanjut.
”Kamu kenapa, memikirkan kakakmu lagi?,” tanya temanku lagi.
”Eh, nggak. Nggak ada apa-apa kok,” jawabku
sekenanya.
*******
Aku
memang tidak pernah bisa terbuka tentang perasaanku kepada teman-temanku. Bahkan pada sahabatku sendiri Mutia. Entahlah
aku sendiri tidak tahu mengapa. Padahal aku ingin sekali berbagi bersamanya
seperti dia yang selalu bisa terbuka padaku. Tapi, setiap kali aku berucap satu
patah kata setiap kali pula kata-kata itu tak pernah berlanjut hingga membuat
sahabatku itu terheran-heran.
Aku
malu jika harus menceritakan kehidupan pribadiku pada sahabatku. Aku selalu di
liputi rasa takut kalau mereka akan meninggalkanku jika mereka tahu kalau
ayahku meninggalkan ibuku gara-gara selingkuh dengan wanita lain. Satu-satunya
yang dapat aku ceritakan dan aku bangga-banggakan hanyalah kakakku Riyan yang
kini merantau entah di mana.
Kelulusan
pun tiba. Aku berharap bahwa tidak hanya ibu yang hadir saat kelulusanku itu.
Aku berharap bahwa kak Riyan bisa hadir di tengah-tengah kebahagiaanku. Aku
ingin sekali berbagi kebahagiaan dengannya. Tapi, takdir berkata lain, kak
Riyan tidak hadir di sana. Di saat aku menerima ijazah dan penghargaan-penghargaan
karena pengapdianku pada sekolahku. Kak Riyan tidak hadir untuk memberiku
ucapan selamat dan memberiku pelukan manis. Ku lihat sekeliling semua
siswa-siswi di dampingi oleh orang tua mereka masing-masing ada ibu mereka yang
membantu merapikan baju mereka dan ada ayah mereka yang selalu memberi semangat
pada mereka. Sedangkan aku hanya ada ibu di sampingku dan tersisa satu bangku
kosong disampingku yang aku harap bisa di isi oleh kak Riyan.
*******
Aku tak mau berfikiran buruk tentang kakakku
itu. Mungkin dia tidak bisa hadir karena terlalu sibuk dengan
pekerjaan-pekerjaannya yang tidak bisa ia tinggalkan. Hingga ia tidak bisa
hadir saat kelulusanku. Tangis ibuku berlinang ketika beliau melihatku menerima
penghargaan dari sekolah sebagai lulusan terbaik tahun ini. Dan aku bersama ibu
pun pulang ke rumah dengan air mata bahagia namun tetap menyimpan kerinduan
pada kakakku.
Kakakku
berpesan di surat terakhirnya bahwa aku harus meneruskan sekolah ke kedokteran
untuk meraih cita-citaku. Bagaimanapun caranya kakakku akan berusaha untuk itu.
Dan akhirnya aku pun di terima di fakultas kedokteran di Universitas terkemuka
di kotaku. Mungkin karena semua itu kakakku bekerja keras dan tidak pernah bisa
membalas surat-surat yang aku kirim lagi. Padahal aku dan ibu sangat menunggu
kabar darinya.
Hujan
rintik ketika aku berangkat kuliah pagi itu. Kau tahu bertapa bencinya aku pada rintik
hujan. Karena rintik hujanlah aku menjadi seperti ini. Karena rintik hujan
ibuku kehilangan orang yang ia cintai dan karena rintik hujanlah aku harus
merelakan kakakku untuk pergi. Kututup payungku yang berwarna ungu muda itu
ketika aku sampai di tempat kuliah. Tak kubiarkan setetespun rintik hujan itu
menyentuh tubuhku. Hingga sampai di tempat kuliahku aku masih terlihat rapi
tanpa basah sedikitpun.
”Lho, Tya kamu naik apa kok bajumu nggak
basah sama sekali,” tanya temanku.
”Eh, aku jalan kaki kok dari rumah,”
”Tapi, kenapa tidak basah sedikitpun ya?
Padahal aku aja yang naik mobil masih basa karena rintik hujan,” tanya temanku
lagi.
*******
Aku hanya menanggapinya dengan senyuman. Rintik hujan tak pernah berhenti sampai
kuliahku usai. Aku mencoba menunggu hingga reda. Tapi, tak kunjung reda. Aku
teringat dengan semua kejadian-kejadian yang menimpaku saat rintik hujan turun
hingga aku menjadi takut untuk berjalan di tengah rintik hujan. Ketika
berangkat aku bisa mengatasi rasa takutku karena ada ibuku yang menenangkanku.
Tapi kini aku hanya sendiri. Aku menangis lirih di pojok kampusku.
Kenangan-kenangan buruk itu kembali menguak membuat dadaku terasa sesak dan
akhirnya aku pingsan. Ketika
sadar aku sudah berada di rumah sakit kampusku.
”Kamu, sudah baikan,” tanya seseorang padaku.
”Eh, iya. Aku sudah sedikit baikan kok,”
”Ngomong-ngomong namamu siapa sih. Aku biasa
melihatmu sendiri di pojok kampus jika rintik hujan turun,” tanyanya padaku.
”Emm, namaku Tya,”
”Oh, Tya dari fakultas kedokteran juga yach,”
”Lho, kok tahu,”
”Iya, aku juga di fakultas kedokteran tiga
tingkat lebih tinggi dari mu dan aku sering melihatmu tapi, aku nggak tahu
siapa namamu,”
”Kamu yang membawaku kesini?,” tanyaku.
”Iya, kamu tadi pingsan,”
”Kalau begitu terima kasih ya?”
”Lho, kamu nggak mau pulang. Katanya udah
baikan,”
”Emm, aku masih menunggu rintik hujan reda,”
”Sampai kapan kau harus menunggu, setiap kali
aku melihatmu menunggu hingga rintik hujan reda kau baru mau pulang. Memangnya kau tidak suka dengan rintik
hujan,”
”Iya, aku sangat membencinya,”
”Memangnya kenapa, semua orang suka berjalan
ditengah rintik hujan. Mereka senang tubuh mereka basah akan air hujan. Lagi
pula rintik hujan adalah anugerah yang Allah berikan pada kita,”
”Sekali tidak suka, aku tetap tidak suka,”
tandasku dengan nada tinggi sembari meninggalkannya dan bergegas pulang karena
rintik hujan telah reda.
*******
Kejadian hari itu membuatku semakin membenci
rintik hujan. Setiap kali rintik hujan turun selalu terjadi hal-hal yang buruk
padaku. Aku benci rintik hujan. Sejak saat itu pula aku semakin phobia terhadap
rintik hujan. Bahkan
aku rela meski harus menunggu sampai larut malam hingga rintik hujan itu reda
aku baru bergegas pulang. Entah, mungkin ibuku cemas di rumah tapi mungkin
beliau sudah terbiasa dengan sifatku ini.
”Kamu kenapa sih nggak pulang-pulang,” tanya
anak yang menolongku waktu itu.
Aku pun hanya diam tidak menyahutinya.
”Oh, ya namaku Fatir. Apakah aku boleh menemanimu
sampai rintik hujannya reda?,” ucapnya padaku.
Aku pun hanya diam tak menyahut sepatah-kata
pun.
”Kalau kamu tidak pulang nanti orang tuamu
cemas,”
*******
Kemudian dia menarik tanganku. Membawaku
menuju ke tengah rintik hujan. Semua itu membuatku takut dan menangis
sejadi-jadinya. Bahkan hingga membuatku pingsan. Ketika aku terbangun keesokan
harinya kudapati rintik hujan lagi. Aku tak mau melihatnya barang sekejap.
Ibuku datang menengok keadaanku yang tidak pulang semalaman karena aku pingsan
dan di bawa ke rumah sakit kampus. Dan Fatir pun minta ma’af padaku karena dia
yang membuatku seperti ini. Kini dia tahu semua tentangku mengapa aku begitu
takut dengan rintik hujan. Ibuku menceritakan semuanya pada Fatir karena ibu
ternyata kenal akrab dengan mamanya Fatir yang satu sekolah dengannya dulu. Ibu
dan mamanya Fatir pun berharap bahwa Fatir mau menjagaku.
”Tya,” desah Fatir suatu ketika. ”Bukan
rintik hujan yang salah atas apa yang sudah terjadi padamu. Mungkin semua itu
sudah takdir dari Allah bahwa kau harus mengalami semua itu bertepatan dengan
ketika rintik hujan turun,”
Aku hanya terdiam dan terdiam. Hingga Fatir
menggandeng tanganku lagi membawaku ke tengah rintik hujan lagi.
”Aku, tak peduli meskipun kau akan sakit
lagi. Aku tak peduli meski aku harus memapahmu yang berkali-kali pingsan. Aku
tak peduli meski air matamu menetes seiring dengan tetesan rintik hujan. Aku
hanya ingin kau menghilangkan rasa takutmu,” ucap Fatir padaku.
*******
Seketika
itu aku hampir pingsan lagi. Mataku kabur tapi aku masih bisa melihat ibuku dan
mamanya Fatir melihat aku dan Fatir ditengah rintik hujan. Badanku terasa lemas
hingga aku melihat sesosok orang bertubuh kurus menghampiriku dan memelukku
hingga akhirnya aku tak dapat bertahan.
Ketika aku sadar, melihat orang itu berada di
sampingku. Menggenggam erat tanganku sembari meneteskan air mata. Wajahnya tampak kurus tapi dia masih terlihat
tampan sejak perpisahan kita tujuh tahun yang lalu. Dialah kakakku, kakak yang
selalu aku bangga-banggakan, dan kakak yang selalu aku rindukan. Aku pun langsung memeluknya dengan erat.
”Tya, maafkan kakak yach, kakak tidak
menjagamu dengan baik. Ma’afkan
kakak, karena kakak kamu jadi takut pada rintik hujan. Ma’afkan kakak juga
karena tidak pernah mengirim kabar padamu, maafkan kakak.....,”
Beribu kata ma’af kakak ucapkan padaku.
”Kakak tidak perlu minta maaf pada Tya.
Seharusnya Tya yang minta ma’af karena Tya tidak bisa menjaga diri dengan baik
apalagi menjaga ibu. Asalkan kakak ada di sini Tya pasti bisa melewati semuanya
dengan baik. Kakak jangan pernah tinggalkan Tya dan ibu lagi kak,” ucapku.
”Tapi Tya, kakak tidak bisa. Kakak masih harus bekerja sampai kamu lulus
nanti,”
”Tapi, kak,,,Tya nggak butuh semua ini. Tya rela jika harus melupakan cita-cita Tya
untuk menjadi dokter. Tya nggak ingin kakak bekerja keras lagi karena Tya.
Apalagi kakak sudah agak kurusan. Apa kakak tidak sayang sama Tya.Tya nggak mau
kakak pergi lagi,”
” Tya bukankah Tya sudah berjanji pada kakak
akan menjadi adik yang tegar, yang bisa menjaga ibu dengan baik. Kakak
melakukan semua ini karena kakak sayang sama Tya. Dan kalau Tya juga sayang
sama kakak maka Tya harus lulus dan menjadi dokter sesuai cita-citamu. Kamu
mengerti?,” ucap kakaku sembari berlinang air mata dan mendekapku erat.
Akhirnya kakak tetap pergi meskipun aku
melarangnya. Kakak tetap menjalankan tugasnya sebagai kepala keluarga pengganti
ayah. Kakak pun
menitipkanku pada Radit yang ternyata teman baik kakakku semasa SMA. Kini
kakakku tidak khawatir lagi pada aku dan ibu karena dia percaya bahwa Fatir
akan menjaga kami. Sejak saat itulah aku tidak lagi takut pada rintik hujan.
Semunya berkat Fatir dan kakakku.
*******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar