
“ Dilla, Ayo tidur.”teriak Ibu menyuruku
lekas tidur.
“ Iya,
Ibu………..’’ Sahutku dari dalam kamarku.
Kupaksa
mataku untuk terpejam tapi begitu sulit. Aku memang sulit sekali untuk tidur
karena aku takut kalau aku bermimpi buruk. Timbullah ide-ide cemerlang dalam
pikiranku. Supaya aku bisa tidur, aku membaca beberapa majalah dan komik yang
tertata rapi dirak buku. Tak lama setelah membaca beberapa majalah dan komik
mataku terasa lelah. Dan akhirnya akupun tertidur. Aku terlelap dalam tidurku
bersama mimpi- mimpiku.
Fajar
menyinsing dipagi hari diiringi suara kokok ayam jantan. Aku belum bangun
ketika ibu berteriak sambil menggedor kamar tidurku. Suara ibu yang begitu
nyaring mengguncang tidurku suara ibu terdengar mengancam.
“ Dilla, Ayo bangun. Sudah siang kalau kamu
gak bangun juga ibu guyur nanti,”
*******
Aku
bergegas bangun dari tempat tidurku. Masih mengucek-ucek mata, dengan malas
kubuka pintu kamar. Ibu pun sudah pergi menjauh ketika mendapatiku berdiri
didepan pintu kamarku.
“ Ayo,cepat mandi. Ayah sudah menunggumu
dimeja makan,’’ pinta ibu sebelum ibu pergi menjauh.
“ Lho, memangnya sekarang sudah jam berapa
bu?” tanyaku pada ibu yang telah berlalu.
“Ini
sudah jam enam lewat, cepat nanti kamu terlambat,” Seru ibu.
Akupun
bergegas mandi. Tak kusangka hari ini aku terlambat bangun pagi. Mungkin ini
karena aku tidur terlalu larut tadi malam. Padahal ini hari pertamaku
disekolahku yang baru. Usai mandi dan memakai seragam aku langsung beranjak
dari kamar tidurku kemeja makan. Di meja makan ayah dengan setianya menungguku
sambil membaca Koran pagi.
“ Pagi Yah,’’sapa ku pada Ayah.
“
Pagi,tumben kamu bangunnya siang,Tanya Ayah pada ku
“
Iya,Yah..,tadi malam aku tidur terlalu larut,”
“
Makanya kalau tidur jangan larut- larut.” Ucap ayah menasehatiku.
“ Iya,
yah…, tadi malam tuh Dilla nggak bisa tidur,”
”Memang kenapa? Pasti kamu lagi mikirin
sekolah barumu ya…..? tanya ibu menyahut dari kejahuan dengan membawa dua
cangkir yang masing-masing berisi kopi dan susu.
“ Iya, Ibu.”jawabku sembari membawa cangkir
yang berisi susu.Maafin Dilla ya Bu, ibu jadi repot sendiri didapur,”
” Udah
, nggak apa- apa kok Dill, yang penting jangan kamu ulangi lagi,”
*******
Setelah
saling bercakap-cakap kamipun sarapan bersama-sama. Ibu menyuruhku berhati
–hati dijalan ketika aku mencium tangan dan keningnya. Aku berangkat kesekolah
dengan berjalan kaki, karena jarak sekolah tidak terlalu jauh dari rumahku.
Jalan-jalan masih becek akibat hujan yang turun begitu deras tadi malam. Bahkan
kulihat ada pohon tumbang ditepi jalan yang mungkin juga diakibatkan hujan
deras dan angin kencang tadi malam. Tak terasa setelah melewati jalan- jalan
yang penuh liku dan lorong- lorong sempit akhirnya aku sampai disekolah baruku
itu.
Dikelas
semua asyik dengan kesibukannya masing-masing. Meskipun terasa asing dikelas
itu akhirnya akupun bisa beradaptasi dengan baik. Toh… kami kan sudah seminggu
satu kelas ketika MOS jadi wajah-wajah mereka tidak begitu asing lagi bagiku. Suara
gaduh terdengar dimana-mana hingga membuat ruang kelas menjadi ramai
ditengah-tengah keramaian itu mataku tertuju pada seseorang yang wajahnya sudah
familiar bagiku karena aku sudah mengenalnya sejak duduk dibangku sekolah
dasar. Tiba- tiba terdengarsuara yang membuat pandanganku padanya buyar.
”Dil, Dilla,’’ teriaknya .
*******
Seketika
itu aku langsung mencari darimana datangnya suara itu. Ternyata itu adalah
suara Ria, teman baruku yang sudah kukenal dihari pertama ketika MOS.
”Hai ,Ri ada apa,” sahutku .
“Dil, kamu mau nggak duduk satu bangku dengan
ku.”ucapnya menawariku.
“Ah, kebetulan Ri,aku bingung mau duduk
dimana habis aku datangnya telat sih. Untung aja masih ada tempat duduk yang
tersisa untukku. Makasih ya Ri.”ucapku panjang lebar menyetujui dengan senang
hati tawaran Ria.
“
Tenang saja Dil, selalu ada tempat buat kamu,” ucap Ria sambil mempersilakan
aku duduk disampingnya.
Aku
hanya menaggapinya dengan senyuman Ria memang baik sekali padaku sejak pertama
kali kami bertemu. Anaknya juga periang dan nggak ngebosenin sehingga enak diajak ngobrol.
“Dil,
menurutmu hari ini langsung pelajaran nggak sih,”tanya Ria membuyarkan
lamunanku yang baru saja ku bangun.
”Eh, ya enggaklah Ri? Mungkin hari ini cuma
perkenalan saja,” jawabku.
“Syukurlah kalau gitu aku belum siap nerima
pelajaran hari ini,” Bel tanda masukpun berbunyi.
*******
Seorang
wanita setengah baya memasuki ruang kelas kami. Aku dan ria saling berpandangan dan penasaran
siapa sebenarnya wanita separuh baya itu. Tak lama setelah beliau meletakkan
bukunya dimeja guru, beliaupun memperkenalkan diri.
”Perkenalkan nama saya Puji Rahayu kalian
bisa memanggil saya bu Rahayu. Saya
adalah wali kelas kalian dan saya mengajar mata pelajaran biologi.
Ok…..perkenalan saya akhiri disini kalian semua sudah mengenal saya, sekarang
giliran kalian memperkenalkan diri kalian masing- masing,’’ jelas bu Rahayu
dengan suara datar.
Sesuai dengan permintaan wali kelas kami.
Kami pun memperkenalkan diri kami masing-masing. Setelah semuanya selesai
berkenalan bu Rahayu, wali kelas kami menyuruh kami untuk mencalonkan siapa
saja dari kami yang dianggap pantes untuk menjadi pengurus kelas. Untuk ketua
kelas kami mengusulkan Doni, dan Rafi sebagai wakilnya. Aku dan Ria dipilih
untuk menjadi sekertaris dan lainya sebagainya. Setelah pembagian pengurus
kelas dan semua yang berhubungan dengan urusan kelas, bu Rahayu menyuruh kami
beristirahat.Aku dan Ria langsung beranjak dari tempat duduk menuju kekantin.
Habisnya aku merasa lapar karena tadi pagi aku hanya makan sedikit.Tiba-tiba
dikantin saat aku dan Ria duduk dibangku kantin sambil memakan makanan pesanan
kami terdengar suara yang memanggil namaku.
“Dil, Dilla….”
Aku menengok kebelakang mencari tahu siapa
yang memanggilku itu. Seorang anak cowok yang tak asing lagi bagiku melambaikan
tangannya kearahku sambil tetap meneriakan namakku. Anak cowok itu melangkahkan
semakin dekat kearah bangku kantin yang kududkin bersama Ria.
“Hai,
Dil apa kabar ?” sapa anak cowok itu yang sudah berada tepat dihadapanku dan
Ria.
“Oh,
kak Vian, kabar baik kak,’’ jawabku pada anak cowok itu.
*******
Namanya
adalah Alviano Risqika. Dia adalah ketua osis kami yang sudah kukenal sejak
pertamakalinya aku diterima disekolah ini. Ria juga mengenalnya begitu akrab
sama sepertiku. Kak Vian sangat baik padaku begitu juga pada Ria. Kak Vian juga
sangat sopan pada kami meskipun dia adalah kakak kelas kami. Kak vian beda dua
tahun denganku dan Ria. Kami sangat senang mgobrol dengan kak Vian karena dia
sangat nyambung jika kami diajak ngobrol lagi pula anaknya juga asyik jadi
nggak akan bikin bosen meskipun lama-lama ngobrol dengannya.
“ Boleh. Aku duduk disini,’’ Tanya kak Vian
dengan sopannya pada kami.
“Oh,….. boleh kak toh… ini kan tempat untuk
umumkan? Jawab Ria sambil bercanda.
Kami
semuapun ngobrol. Banyak
hal yang menjadi obrolan kami. Hingga tak terasa suara bel tanda masukpun
berbunyi kembali membuyarkan pembicaraan kami yang begitu asyik.
”Yach, sayang ya sudah masuk lain kali kita
sambung lagi yach, aku kekelas dulu,’’ Ucap kak Vian sambil pergi meninggalkan
aku dan Ria yang sedang membayar makanan yang sudah kami pesan tadi .
*******
Setelah
itu aku dan Ria pun kembali kekelas ketika ku masuki ruang kelasku sepasang
mata yang dingin menatapku dengan perasaan kurang bersahabat langsung kualihkan
mataku dari tatapan mata dinginnya itu dan menuju kebangku tempat dudukku
Sesuai
dugaanku hari ini tidak ada pelajaran hanya perkenalan guru-guru saja Ria
nyengir tampaknya dia begitu senang hari ini tidak pelajaran. Tapi pikiranku melayang
jauh entah kemana. Aku masih memikirkan sepasang mata dingin yang menatapku
dengan tidak bersahabat tadi. Kelaspun berakhir ketika bu Diyah guru bahasa
Indonesia kami menyuruh untuk berkemas-kemas.
Ria
menawariku untuk pulang bersamanya naik motornya, tapi aku menolaknya. Aku
lebih suka berjalan kaki seperti saat aku berangkat kesekolah tadi. Kulewati
lorong-lorong sempit dan jalan-jalan yang penuh liku-liku tadi. Tiba-tiba ada
suara gerak langkah kaki yang mengiringi gerak langkah kakiku ternyata dialah
orang yang menatapku dengan kurang bersahabat tadi. Aku memang mengenalnya
sejak duduk dibangku sekolah dasar tapi aku tak pernah berani menegur atau
menyapanya dan bertanya mengapa dia bersikap seperti itu kepadaku.
Ku urungkan niatku itu untuk menayakan apa
aku pernah punya salah padanya. Tapi kupikir aku tak pernah punya salah
padanya. Ngobrol dengannya aja aku gak pernah apalagi bikin kesalahan padanya.
Akhirnya kuputuskan untuk melupakan sikap anehnya itu toh….. ini bukan pertama
kalinya dia bersikap seperti itu padaku.
*******
Aku
terus melanjutkan langkahku yang sempat terhenti saat aku memikirkan masalah
tadi. Diapun mempercepat langkah kakinya mendahuluiku. Hingga tak kulihat lagi
sedikitpun batang hidungnya akupun mempercepat gerak langkahku agar bisa sampai
lebih cepat dirumah. Kuketok pintu rumahku yang berwarna biru muda itu. Ibu
dengan setianya membukan pintu untukku dan menyabutku dengan senyuman. Seperti biasa aku mencium tangan dan kening
ibu sambil mengucap salam.
Kenapa
setiap aku melihat wajah ibu selalu ada pertanyaan- pertanyaan besar dalam
pikiranku seperti tadi malam. Aku merasa kalau aku tidak ada mirip-miripnya
dengan wajah ayah ataupun ibu “ mungkinkah aku bukan anak ibu ?” itulah yang
selalu aku pikirkan sepanjang hari hingga membuatku tidak bisa tidur setiap
malam. Sebenarnya aku ingin bertanya langsung pada ayah dan ibu tapi aku takut
membuat mereka menjadi tersinggung.
Ibu
telah menyiapkan makan siang dimeja makan dengan kata-kata yang begitu lembut
dan menyenangkan hatiku, ibu memanggilku dan menyuruhku makan siang.Aku yang
telah selesai sholat segera menggulung sajadah dan melipat mukenahku untuk
segera memenuhi panggilan ibu. Kami pun makan siang bersama. Aku memberanikan
diri untuk bertanya tentang masalah yang selalu membebani pikiranku.
*******
“ Ibu,’’ desahhanku pada ibu.
“ Ada apa Dil, ada yang ingin kamu katakan?’’
Tanya ibu.
“ Iya bu, ehm Dilla mau menanyakan sesuatu
pada ibu,’’
“Apa yang ingin kamu tanyakan pada ibu
dil?,’’Bu,apa Dilla ini bener-bener anak kandung ibu,’’tanyaku dengan langsung
mengunci bibirku rapat-rapat.
“ Kamu bilang apa sih dil? Ya jelaslah kamu
anak ibu kalau bukan anak ibu masak kamu anak tetangga,’’ jawab ibu dengan
menyembunyikan kesedihanya.
Aku
tahu ibu pasti sedih dan tersinggung mendengar kata-kataku tadi seharusnya aku
tidak menanyakan hal itu pada ibu hingga membuat ibu menangis. “maafin Dilla,
Bu? Dilla nggak bermaksud membuat ibu sedih. Dilla hanya ingin tahu saja,’’
“Nggak apa-apa Dil? Masih ada yang ingin kau
tanyakan pada ibu,” Tanya ibu lagi.
’’Nggak Bu,’’jawabku.
“Ya,
Sudah kalau begitu ibu kekamar dulunya mau tidur siang,’’
“Iya,Bu……,’’
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin aku
tanyakan pada ibu. Kalau benar aku anak kandung ayah dan ibu kenapa aku tidak
mirip sama sekali dengan mereka. Tapi aku nggak mau membebani ibu dengan
pertanyaan-pertanyaanku lagi yang tidak masuk akal.
*******
Hari-hari
kulalui dengan aktivitas yang tidak begitu berbeda dari biasanya. Tapi yang
sangat membedakan adalah aku nggak terlambat bangun lagi. Karena begitu
seringnya bertemu dengan kak Vian membuat sepasang mata dingin itu menjadi
lebih tidak bersahabat denganku. Entahlah aku tak mengerti jalan pikirannya
akupun tidak tahu dimana letak kesalahnku padanya jika aku berbuat salah
padanya.
Suatu
hari ibu menyuruhku untuk membeli gorengan diwarung depan rumah untuk tamu
kami. Tapi, sesuatu terjadi padaku. Aku tertabrak sepeda motor ketika aku
berjalan beberapa langkah dari warung menuju kerumah. Seketika itu aku langsung
dibawah kerumah sakit.dan mungkin ini sudah menjadi takdirku aku kehabisan
stock darah dirumah sakit sedangkan darah ayah dan ibu tidak cocok denganku.
Akhirnya tamu ayah yang juga ikut mengantarku kerumah sakit mendonorkan
darahnya untukku.
Mungkin
sebuah kebetulan ataukah sebaliknya darah mereka cocok denganku dan nyawaku
akhirnya bisa diselamatkan. Wanita yang berumuran tak begitu jauh dari ibu
itulah yang mendonorkan darahnya untukku. Dia adalah istri dari bos ayah yang
bertamu kerumah saat peristiwa itu terjadi. Tak tahu kenapa wanita itu tiba-tiba menangis
dan memelukku.
Terdengar pula suara orang mengetok pintu
kamar tempat aku dirawat. Ternyata dia adalah kak Vian dan teman satu kelasku Ria serta Rafi si mata
dingin itu. Aku semakin binggung dengan keadaan ini kenapa mereka tahu aku
dirawat disini padahal Ayah dan Ibu tidak menghubungi mereka sama sekali.
Setelah suasana ramai dengan canda tawa Ria suasana pun kembali hening seperti
semula.
*******
Ibu
dan Ayah mengatakan sesuatu padaku “ Dilla, kamu sudah baikan ,’’ tanya ibu
dengan menetes air mata.
Aku tak tahu kenapa Ibu harus menangis. Apa
yang sebenarnya ingin ayah dan ibu katakan.Hatiku tak henti bertanya-tanya,
kemudian ayah pun melanjutkan perkataan ibu.
“Dilla, sebenarnya ada sesuatu yang ingin
ayah dan ibu katakana padamu”.
“Iya, Dill, sebenarnya…..” ucap ibu
terbata-bata dan tak berlanjut karena beliau terus menangis.
“Dilla, sebenarnya kami bukan orang tua
kandungmu” ucap ayah dengan jelas.
Deg…
serasa jantungku seolah berhenti berdetak mendengar ucapan ayah. Ternyata ketakutanku selama ini menjadi
kenyataan. Aku hanya bisa menangis dan menangis.
“Ayah..Ibu, kalau bukan ayah dan ibu, orang
tua Dilla, maka siapa orang tua kandung Dilla?” tanyaku.
“Mereka,” ucap ayah sembari menunjuk kearah
wanita yang umurnya tak jauh dengan ibu.
“Iya, Dil, saya Endah…mama kamu.”
“Nggak….nggak mungkin, kalau memang anda ibu
kandung saya, kenapa saya kok bisa tinggal di keluarga pak atmaja”. ucapku tak
percaya.
“Sejak kecil merekalah yang merawatku hingga
aku bisa sebesar ini. Dimana ibu saat aku sedang sakit, dimana ibu saat aku
sedang sedih?kalau ibu memang benar mama saya”ucapku lagi sambil menangis.
*******
Kemudian kak vian menjelaskan alasan mama
meninggalkan ku sewaktu aku masih kecil dulu. Mereka dulu dalam keadaan yang
serba kekurangan dan akhirnya meletakanku
didepan pintu rumah Bapak Atmaja. Namun satu hal yang membuatku kaget
ternyata kak Vian adalah saudara kandungku. Padahal aku sudah begitu menyayanginya
karena dia begitu baik padaku.
“Nggak, Ayah…Ibu katakan kalau semua ini
nggak benar”,ucapku pada ayah dan ibu sembari beranjak dari kamar perawatan
itu.
Aku
menangis dibangku taman rumah sakit. Kemudina sepasang mata dingin itu berlari
kearahku.
“Dil, kamu nggak apa-apakan?” ucapnya.
Pertama
kalinya dalam hidupku, sejak duduk di bangku sekolah dasar sampai kini untuk
pertama kalinya dia berbicara padaku. Sepasang mata dingin yang biasanya menatapku dengan tidak
bersahabat kini tak ada lagi. Sepasang matanya begitu teduh hingga aku tak
merasa asing lagi didekatnya.
“Dill, aku tau kamu sedih banget, tapi kamu
harus bisa menerima semua ini dan maafin orangtuamu”.
“Apa?kamu bilang aku harus maafin
mereka?memang mudah jika hanya bilang tapi coba kamu berada diposisi aku”.
“Dill, semua orang pasti punya kesalahan,
Karena manusia bukanlah orang yang sempurna. Hanya Allahlah pemilik segala
kesempurnaan itu. Begitu juga dengan orangtua kandungmu. Tidak semua hal bisa
disembuhkan oleh waktu termasuk kerinduan mereka kepadamu Dil. Makanya mereka
terus mencarimu. Itu berarti mereka sangat menyayangimu.
“Tapi,Raf…aku…”
“Aku yakin kamu adalah orang yang bijak yang
bisa menentukan apa yang seharusnya kamu lakukan”,ucap Rafi sembari menghapus
air mataku.
*******
Akhirnya akupun bisa menerima semua itu dan
kembali kekamar perawatanku. Akupun langsung memeluk orang tua kandungku itu.
Mereka memberiku pilihan tinggal bersama mereka ataukah tetap tinggal bersama
orangtua angkatku.
“Ma,..Pa,..Kak Vian maafin Dilla sebelumnya. Dilla nggak bisa ninggalin ayah dan ibu.
Dilla sayang sama mereka. Dilla juga sayang sama mama, papa dan kak Vian tapi
maafin Dilla. Dilla nggak bisa ikut Mama, Papa dan Kak Vian pindah
kesurabaya”ucapku panjang lebar.
“Tapi Dilla udah maafin kesalahan
kamikan?”tanya mama padaku.
“Iya, Ma. Dilla maafin kalian semua. Tuhan
saja maha pemaaf kenapa Dilla enggak,”ucapku melupakan kesedihanku.
Mama,Papa
dan Kak Vian pun memelukku erat sebelum mereka pergi.Kak Vian menyuruhku ke
Surabaya kalau aku sedang libur panjang. Akupun menyanggupinya. Setelah
kepergian keluarga kandungku aku,Ayah,dan Ibupun pulang kerumah. Mereka senang dengan keputusan yang aku
ambil. Aku juga demikian. Bagiku Ayah dan Ibu adalah segalanya. Aku tak butuh
kemewahan yang mama dan papa miliki sekarang. Yang kubutuhkan hanyalah kasih
sayang dari mereka. Satu hal yang membuatku juga bahagia Rafi si muka dingin
itu tak bersikap dingin lagi padaku dan Ria selamanya menjadi sahabat terbaikku
Kehidupanku pun terus berlanjut. Seperti air yang terus mengalir.
*******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar