Jumat, 13 Juli 2018

Edelweiss




Fajar menyingsing di pagi hari. Terik sinarnya menyelinap masuk lewat jendela kamarku yang bergorden biru muda dengan motif bunga-bunga. Aku terbangun sejenak saat sinar itu tepat mengarah ke mataku hingga aku merasa silau karenanya. Tapi aku tak menghiraukan terik sinar itu. Aku masih melanjutkan tidurku dan merajut kembali mimpi-mimpi indahku, pasalnya hari ini adalah hari minggu jadi aku tak perlu bergegas bangun untuk pergi ke sekolah. Aku pun belum bangun ketika ibu berteriak menyuruhku lekas bangun tanpa memasuki kamarku. Suaranya yang nyaring mengguncang tidurku.
” Kalau kamu belum bangun juga, Ibu suruh teman-temanmu pergi saja!” terdengar suara ibu dengan nada mengancam diantara seruan-seruannya itu memangil-manggil namaku.
            Aku segera meloncat dari tempat tidur. Sambil memicingkan mataku yang terkena terik sinar matahari. Ku coba untuk membuka gorden jendela kamar tidurku. Kulihat sahabat-sahabatku tengah melambai-lambaikan tangannya ke arahku dan aku pun hanya membalasnya dengan senyuman. Aku lupa kalau hari ini aku ada janji dengan sahabatku hendak pergi ke toko buku. Masih mengucek  mata, ku buka pintu kamar tidurku. Ku ambil handuk yang juga berwarna biru muda, yang berjajar rapi di jemuran. Maklumlah aku suka sekali dengan warna biru, hingga kebanyakan barang-barangku tak pernah lepas dari warna favoritku itu. Aku pun bergegas untuk mandi.
            Ku ambil baju warna biru muda di almari gantungan. Ku sisir rambutku dan ku kenakan bando berwarna biru tua yang bermotif polkadot di meja hiasku. Aku pun lekas memenuhi panggilan sahabatku yang dari tadi telah menungguku di ruang tamu.
” Sudah jam berapa ini mbak?” tanya sahabatku Dewi dengan nada meledek.
” Ah, ma’af,” jawabku sembari nyengir dan kami pun asyik berbincang-bincang di ruang tamu, menunggu kedatangan ibuku yang sedang pergi berbelanja.
*****
            Aku, dewi dan Lidya sudah bersahabat selama dua tahun. Itu terhitung sejak aku pertama kali masuk sekolah SMA. Awalnya aku tidak mengenal mereka karena kami berasal dari sekolah yang berlainan. Aku juga tidak pernah lagi percaya akan indahnya sebuah persahabatan sebelum aku bertemu dengan mereka. Pasalnya, dulu aku pernah di hianati oleh sahabatku sendiri. Dan karena itulah aku tak pernah lagi percaya yang namanya sahabat lagi. Apalagi yang namanya persahabatan yang akan abadi untuk selamanya seperti bunga edelweiss, yang kerap di gembar-gemborkan orang itu. Aku lebih senang menutup diri dan menjauh dari keramaian.
Akan tetapi, semua itu berubah ketika aku mengenal Dewi dan Lidya. Karena merekalah yang menyadarkanku dan mengajarkanku arti persahabatan yang sesungguhnya hingga aku tidak terus di bayangi oleh buruknya sebuah persahabatan yang pernah aku alami dulu. Sejak saat itulah aku mulai mengerti akan arti persahabatan yang sesunggunya.
Bagiku, sahabat adalah malaikat yang membantuku ketika sayapku patah. Menjadi tongkat yang membantuku berdiri, menjadi lilin saat hatiku gelap dan menjadi payung saat aku dihujani air mata. Itulah arti persahabatan yang Dewi dan Lidya ajarkan padaku.
*****
            Tiba-tiba ibu membuyarkan keasyikan kami. Dengan belanjaan-belanjaannya yang menumpuk itu, ibu berteriak memanggil-manggil namaku.
” Ada, apa bu?” tanyaku.                                                                               
” Makan dulu sebelum pergi,” pinta ibuku.
” Tapi, bu...Dewi dan Lidya sudah lama menungguku, kasihan mereka,” ucapku.
” Itu salahmu sendiri, kenapa kamu bangun kesiangan. Pokoknya ibu nggak mau tahu kamu harus sarapan, karena ibu nggak mau kamu sakit,”
” Lho, kata ibukan kalau hari libur aku boleh tidur sampai siang,” seruku pada ibu.
” Iya, tapi kamu kan juga harus ingat kalau kamu ada janji dengan teman-temanmu itu. Sudah sana cepat sarapan dan ajak temanmu juga siapa tahu mereka belum sarapan,” pinta ibu padaku.
” Baik, bu,”
            Aku mengajak Dewi dan Lidya untuk sarapan pagi bersamaku, tapi mereka menolak karena sudah sarapan dari rumah sebelum pergi ke rumahku. Aku pun hanya makan sedikit pagi itu, dan langsung pergi berpamitan pada ibuku. Ku cium kening dan tangan ibuku dan bergegas pergi bersama kedua sahabatku itu.
*****
      Dengan sepeda motor mio yang berwarna biru itu aku melesat ke toko buku bersama dengan Dewi. Sedangkan Lidya mengendarai motor mionya yang berwarna merah yang baru di belinya seminggu yang lalu.
            Beberapa menit kemudian kami sampai di toko buku langganan kami. Seperti biasa aku menuju ke rak buku yang berisi novel. Dan jelas aku membeli novel Harry Potter kesayanganku. Kali iniakumembeli novel Harry Potter yang nomorenamdenganjudul”Harry Potter and The Half Blood Prince” yang bercoverhijauitu.
            Sudah lama aku mengharapkan novel itu dan akhirnya kini aku bisa membelinya. Dewi masih sibuk dengan buku-buku biologinya. Maklumlah dia suka sekali dengan pelajaran biologi dan ingin sekali menjadi dokter hingga dia selalu membelibuku yang berbau biologi. Sedang Lidya yang suka sekali dengan fashion tak pernah ketinggalan barang sekalipun denga nmajalah-majalah fashion yang sering di belinya itu.
            Setelah puas berkeliling dan mendapatkan apa yang kami inginkan, kami pun bergegasmenujukekasirpembayaran. Hariinibuku-buku yang kami belisemuanya di bayarolehLidya. Aku dan Dewi pun bingung. Pasalnya hari ini bukanlah hari ulang tahun Lidya. Tapi, tidak seperti biasanya dia seperti itu. Bahkan dia pun mentraktir aku dan Dewi mie ayam pak Diman langganan kami.
” Ada, apasih Lid, kok kamu tumben mentraktir kita-kita,” tanyakupadaLidya di waktu senggang.
” Iya, hari inikan bukan hariulang tahun mu?” tambahDewi.
” Ah, nggakapa-apakok.Aku pengen aja mentraktir kalian berdua. Memangnya nggak boleh,” jawabnya sembari tersenyum manis padaku dan Dewi.
” Yeah, ya nggak apa-apa lagi Lid, cuman yang sering aja kayak gini,” ucap Dewi dengan candanya.
” Kalau keseringan, ntar uang jajanku bisa dipotong satu tahun dong,” tambah Lidya yang langsung kami sahut dengan tawa ria.
*****
            Hari itu adalah hari minggu yang sangat menyenangkan bagiku. Bahkan lebih menyenangkan dari hari minggu sebelum-sebelumnya yang kami lalui bersama. Usai makan mie ayam kami pun langsung pergi main. Hingga tak terasa waktu sudah sore.
” Waduh, udah sore nie, bisa-bisa nanti di rumah ada perang dunia ketiga kalau aku tidak cepat-cepat pulang,” ucapku pada kedua sahabatku.
            Kedua sahabatku pun langsung mengerti dengan ucapanku. Mereka tahu kalau ibuku yang cerewet itu pasti tak akan melepaskanku begitu saja, beliau pasti akan menceramahiku berjam-jam karena aku pulang sore. Tapi, meski begitu aku tetap senang dengan ceramah ibuku. Karena itu berarti ibuku perhatian padaku.
            Motorku dan Lidya melesat cepat. Kami pun berpisah di tikungan tempat para ojek biasa mangkal. Aku melewati jalan-jalan sempit agar lebih cepat sampai di rumah. Sedang Lidya bersama Dewi yang rumahnya satu arah sudah tidak menampakkan batang hidungnya lagi setelah perpisahan kami di tikungan jalan.
*****
            Sesampainya di rumah aku tak mendapati ibu yang biasanya menggantikan pekerjaanku menyiram bunga dan menyapu halaman setiap sore jika aku pulang terlambat. Kulihat bunga-bunga itu belum nampak segar dan halaman rumahku masih berserakan akan sampah-sampah yang di dominasi oleh sampah makanan ringan. Aku pun berfikir mungkin ibu sedang pergi ketika kudapati rumah begitu sepi. Aku menyelinap masuk lewat pintu belakang rumah berharap ibu tidak menemukanku dan menyuruhku untuk menyiram bunga-bunga di taman dan membersihkan halaman karena waktu semakin malam dan aku telah cukup lelah hari ini.
            Akan tetapi kemalangan menimpaku. Ibu sudah berdiri di depan pintu belakang rumah ketika ku buka pintu perlahan-lahan. Nampaknya ibu sudah mengetahui jalan pikiranku, bahwa aku akan pulang lewat pintu belakang jika aku pulang terlalu sore. Dan akhirnya perang dunia ketiga yang aku takutkan itu pun tak dapat aku hindari. Ibu menceramahiku berjam-jam hingga aku tak sempat untuk menyiram bunga dan meyapu halaman.
            Ceramah ibu berakhir ketika seseorang mengetuk pintu rumah bagian depan. Mungkin itu suara ketukan kakaku yang baru tiba dari Surabaya. Pasalnya, setiap hari minggu kakaku selalu pulang mengunjungi kami sekeluarga dan mengirimi ibu uang. Aku pun langsung bergegas mandi dan menyambut kedatangan kakakku tercinta.
” Ada, apa bu? Kok ramai sekali sampai terdengar dari luar?” tanya kakakku pada ibuku yang terdengar dari kamar mandi ketika ibu dan kakak menuju ke ruang tengah.
” Ya, biasalah adikmu itu, pulang terlalu sore hingga membuat ibu marah,”
” Ya sudahlah bu, diakan masih remaja pantas saja sikapnya seperti itu. Yang penting dia tidak salah bergaul kan bu?” hibur kakakku.
” Betul, itu bu,” tambahku ketika aku selesai mandi dan menemui kakakku.
” Kamu, itu selalu saja membela adikmu,”
” Bukan begitu bu, Nesya kan sudah besar dia pasti bisa menjaga dirinya dengan baik,”
*****
            Ibu masih berbincang-bincamg dengan kakakku ketika aku telah selesai dengan makan malamku. Aku pun bergegas pergi kekamar untuk membaca novel Harry Potter yang baru aku beli tadi. Tapi, tiba-tiba ibu dan kakak sudah ada di ambang pintu kamarku dan menghampiriku.
” Tuh, kan apa yang ibu bilang. Pasti adikmu habis membeli novel Harry Potter lagi. Sia-sia saja kau mengirim uang untuk adikmu setiap minggu,” ucap ibu yang tengah memergokiku yang sedang asyik membaca novel baruku itu.
” Tapi kak, yang ini aku tidak beli. Lidya yang membelikannya untukku,” jelasku pada kakak.
” Atas dasar apa dia membelikannya untukmu. Hari ini kan bukan hari ulang tahunnya,” bantah ibu.
” Ya sudah kalau tidak percaya telepon saja Lidya untuk mencari tahu kebenarannya,” pintaku.
            Akhirnya ibu pun menelpon ke rumah Lidya. Tapi sayang, kata pembantu rumahnya Lidya dan keluarganya sudah pindah dari rumah itu sore tadi. Aku langsung terkejut mendengar pernyataan itu dari ibuku. Aku tidak percaya kalau Lidya pindah. Karena baru saja aku dan Dewi menghabiskan waktu ku bersamanya. Langsung ku ambil ponselku yang tergeletak di meja belajarku. Aku mencoba untuk menghubungi Lidya beberapa kali tapi tidak berhasil. Aku langsung terdiam lemas tak berdaya, hingga aku tak sadar bahwa ibu dan kakakku telah meninggalkanku beberapa menit yang lalu.
            Aku langsung memberi kabar pada Dewi tentang semua itu. Dewi pun berulang kali mencoba menghubungi hp Lidya tapi tidak berhasil juga. Aku dan Dewi hanya bisa berbincang-bincang lewat hp. Kami berdua merasa sangat kehilangan Lidya. Yang kami herankan mengapa dia tidak mau memberi tahu kami kalau dia akan pindah ke luar kota. Percakapan kami berakhir ketika jam menunjukkan pukul sembilan malam.
            Aku kembali teringat kenangan-kenanganku bersama Dewi dan Lidya, sembari membiarkan tangisku yang mulai pecah bahkan seolah beradu dengan derasnya air hujan yang turun malam itu dan suara jam dinding yang berdetak. Ku coba untuk memejamkan mata meski terasa begitu sulit. Aku masih tidak percaya bahwa kebersamaanku bersama Lidya hari ini adalah yang terakhir.
*****
            Pagi menjelang dan aku pergi ke sekolah seperti biasanya. Mengenakan seragam putih-putih aku mengendarai motor mioku berangkat ke sekolah. Aku bahkan tak menghabiskan sarapan yang ibu siapkan seperti biasanya. Hari itu pertama kalinya aku tidak ceria lagi seperti biasanya, bahkan itu semua membuat ibu dan kakakku cemas. Begitu pula dengan Dewi yang aku temui di sekolah yang nampak murung sepertiku. Kami berdua duduk-duduk di bangku taman di sekolah kami. Tempat itu adalah tempat dimana aku, Dewi dan Lidya sering menghabiskan waktu bersama-sama. Ditempat itu pula persahabatan kami selama dua tahun terjalin.
” Aku, masih tak percaya Nes, kalau Lidya telah pergi meninggalkan kita. Bahkan dia tidak mengucapkan salam perpisahan pada kita.,” ucap Dewi padaku.
” Ya, aku juga kecewa dengan sikap Lidya yang seperti itu. Apa mungkin dia perginya mendadak? ” ujarku penuh keheranan.
” Entahlah, Nes, aku tak tahu. Tapi meski begitu dia tidak boleh membiarkan kita cemas seperti ini,” ujar Dewi.
” Yah, bahkan dia pergi tanpa kita tahu apa alasannya. Dia pergi begitu saja,”
” Aku, bingung Nes, apa yang sedang terjadi pada Lidya? Hingga dia tega berbuat seperti itu pada kita,”
” Entahlah, aku juga bingung memikirkannya,”        
Kemudian pada saat yang hampir bersamaan hpku dan hp Dewi berbunyi. Kami menerima pesan yang sama dari nomor yang tidak kami kenal.

Otakku yang merekam, memutarkenangankubersama kalian, yang dulupernahbersamakumengarungisamudera nan luas, bersamameraihbintang, bersamamengukirharapan di langit yang tinggi, berlarimengejarmatahari, tertawamenghapusluka, menangisluapanemosi, hinggakinimasihmelekatpasti di hatikecilku. Karena mengingat kalian adalah indahku.
Ma’afkan aku sahabatku, aku pergi tanpa mengucapkan kata perpisahan pada kalian. Lidahku beku, tangisku pecah, hingga aku tak mampu mengucapkan kata-kata itu pada kalian. Aku berjanji, aku tak akan pernah melupakan kalian berdua yang pernah hadir dalam hidupku, dan yang membuat hari-hariku indah dan menyenangkan. Ma’afkan aku harus pergi tanpa kalian tahu apa alasannya. Suatu hari nanti aku pasti akan kembali. Kembali berada di tengah-tengah kalian dan kembali mengulang kenangan-kenangan indah kita. Tunggu aku, sahabatku,,, Jangan pernah lupakan aku,,,,
Lidya

Aku dan Dewi yang menerima pesan dari Lidya itu seolah tak mampu membendung tangis kami. Kembali teringat semua kenangan-kenangan kami yang begitu indah. Yang takkan pernah mampu terlukiskan oleh kata-kata. Bahkan tak mampu untuk di bayangkan jika tidak mengalaminya sendiri. Dan juga takkan pernah terhapus oleh ruang dan waktu.

Air mataku terus menetes tak henti-hentinya begitu pula dengan Dewi. Tapi aku tetap percaya bahwa suatu hari nanti Lidya akan kembali ditengah-tengah kami seperti janjinya. Dan dia pun akan mengemukakan alasan kepindahannya suatu saat nanti. Aku dan Dewi yakin bahwa persahabatan kami akan tetap abadi untuk selamanya meski terhalang oleh perpisahan. Persahabatan kami layaknya bunga edelweiss yang akan tetap abadi untuk selamanya dan tidak akan pernah mati meski tampak layu. Selamat tinggal sahabatku aku akan selalu menunggu kehadiranmu kembali, yang bisa mengubah duniaku dengan tawamu.

THE END


Tidak ada komentar:

Posting Komentar